Jumat, 22 Maret 2013

Negara



Pada Sabtu akhir pekan lalu, sambil menunggu giliran di dokter gigi, saya membaca sebuah artikel di New York Times, mengenai upaya pemerintah di China mengatasi problem korupsi yang juga melanda raksasa ekonomi tersebut. Judul artikel itu adalah " Accused Chinese Party Members Face Harsh Discipline ". Artikel itu berkisah mengenai cara Partai Komunis China menghukum para pejabatnya yang diketahui sudah korupsi luar biasa, dengan mengirimkan mereka ke sebuah tempat penahanan khusus bernama Shuanggui (baca: shwang-gwei), yang mirip-mirip kamp konsentrasi.
Dituliskan, para tokoh partai atau BUMN yang terindikasi korupsi akan dijebloskan ke Shuanggui untuk diinterogasi dengan cara-cara yang sangat menyiksa baik fisik maupun mental sampai mengakui dosanya. Sejumlah pengacara China disebutkan mengakui siapa pun akan bergidik bila mendengar kata "di-Shuanggui-kan". Dalam catatan media resmi hanya segelintir orang saja yang bisa keluar dari tempat itu dalam keadaan utuh tubuh dan jiwanya, karena sudah ratusan pimpinan partai sekeluarnya dari Shuanggui memilih bunuh diri karena malu dan tertekan, atau meninggal secara misterius ketika ditahan.
Biasanya, bila interrogator sudah mendapatkan jawaban yang dimaui, para tahanan langsung dicopot dari jabatan di partai, dan hanya beberapa kasus saja yang berlanjut ke tahap penuntutan lalu ke meja hijau. Tujuan tindakan ini adalah selain untuk melokalisir kasus korupsi agar tidak meluas dan menghancurkan partai, sekaligus menghukum mereka yang memang koruptor.
Lalu, sebagai bagian dari artikel itu ada sebuah kutipan menarik dari Chu Zhaoxian, seorang blogger China yang pernah diizinkan mengunjungi fasilitas itu : "Do not be invited here. If you come here, your days will seem like years." Yang artinya kira-kira jangan sampai deh masuk ke situ, karena kalau itu kejadiannya sehari bisa terasa bertahun-tahun.

Koruptor yang Berjasa
Semasa menjadi pemimpin redaksi Sinar Harapan, saya pernah diajak mengikuti kunjungan kenegaraan (visit state) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Australia. Dalam perjalan pulang di pesawat, salah seorang pembantu presiden melontarkan gagasan mengenai penjara khusus para koruptor, untuk memisahkan para terpidana korupsi dari para narapidana kasus-kasus kejahatan umum seperti pembunuhan, perampokan dan lain-lain. Alasannya,  karena  banyak dari para koruptor itu teman-teman kita yang pernah berjasa bagi negara. Namun untunglah gagasan itu tidak pernah terwujud dan semoga tidak pernah terwujud.
Jelaslah pandangan dan pendekatan para pemimpin di Indonesia tentang korupsi memang berbeda dengan China. Meski meng-shuanggui-kan seorang terduga kasus korupsi jelas pelanggaran HAM karena fasilitas itu bukan lembaga penyidik yang resmi. Kalau menonton acara Indonesia Lawyer Club di TV-One, saya merasa miris melihat bagaimana para lawyer yang necis itu dengan garang membela para terdakwa korupsi, lalu dengan gagah berani mempersalahkan KPK, misalnya.
Atau ketua dewan pembina partai yang kini berkuasa, alih-alih merasa malu atau minta maaf karena gagal membina kader, eh malah tidak terima partainya selalu disebut “juara korupsiâ€
 karena dia mencatat dalam ranking ada partai-partai lain yang kadernya lebih banyak terkena kasus korupsi. Itu sama saja dia membenarkan dan mengizinkan korupsi.
Maka tak heran banyak terpidana korupsi di negara kita bisa tetap berjalan dengan kepala tegak dan dada tengadah, bukannya malu lalu bunuh diri. Jadi, saya selalu terngiang ucapan getir Leo Batubara, semasa dia masih anggota Dewan Pers, ‘bangsa Indonesia masih perlu korupsi’
.

Negara Tipu Negara
Saya tidak ingin pesimistis melihat perjalanan bangsa Indonesia, tapi cukup ketar-ketir melihat perkembangan kasus-kasus korupsi, atau pun kekerasan demi kekerasan y
ang hampir tiada hentinya. Itu semua indikasi pengelolaan negara yang sudah makin awut-awutan.
Misalnya, seorang teman yang bekerja di kantor dinas di sebuah  kabupaten menulis dalam group BB kami, bahwa sebagian mobil dinas pemda yang semula berplat nomor merah, sekarang sudah pakai plat hitam, demi menghindari keharusan membeli pertamax. Itu contoh kecil saja bagaimana (aparat) negara menipu negara. Dan hampir setiap hari ada pejabat  negara di daerah maupun pusat ditangkap karena korupsi.
Pekan lalu, di Kuala Lumpur, saya ngobrol dengan kerabat yang sudah beberapa tahun tinggal di kota itu. Dia bertutur pernah mengalami untuk urusan denda pelanggaran lalulintas sebesar RM 50 (atau Rp 150.000) dia dilarang meninggkan Malaysia, sebelum denda itu dibayar di sebuah loket denda di airport. Di negeri kita, koruptor bisa melenggang pergi, sehari sebelum perintah cekal keluar. Jadi, dengan Malaysia pun kita tertinggal jauh banget!
Menurut Noam Chomsky tiga ciri pokok negara gagal adalah: tak mampu melindungi warga negara dari kekerasan, penyerangan dan perusakan; cenderung mengabaikan hukum dan menderita defisit demokrasi. Dan negara itu pasti juga mengalami sindrom korupsi yang akut, terutama di kalangan para elit politik dan birokrasi.
Apakah kita sudah ada di tahap itu? Saya kuatir kita menuju ke destini itu, selama tidak ada kesungguhan menjadikan korupsi kejahatan yang luar biasa dan dihukum dengan luar biasa pula.0 Kristanto Hartadi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar