Geliat Badak di Ujung Kulon
Seabad lebih, upaya
perlindungan Badak Jawa atau bercula satu di Ujung Kulon, tetapi populasinya
tidak jauh berubah dari tiga dekade terakhir, yaitu sekitar 55 ekor. Jika tidak
serius, hewan langka bercula ini mungkin suatu saat akan tinggal kenangan.
Taman Nasional Ujung
Kulon di Provinsi Banten, mungkin akan menjadi saksi bisu kepunahan Badak
bercula satu yang kian langka. Kawasan konservasi yang juga menjadi obyek
wisata tersebut, seolah tidak mampu untuk mengembang biakan hewan di habitat
aslinya. Bahkan Undag-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990 yang diterbitkan
pemerintah seolah tak sanggup untuk melindungi hewan langka yang dilindungi
itu.
Ujung Kulon bisa
dikatakan menjadi habitat terakhir bagi kehidupan binatang prasejarah itu.
Upaya melindungi jenis binatang itu sudah dilakukan satu abad lebih. Selama
itu, kehidupannya di Ujung Kulon mengalami cobaan-cobaan yang mematikan,
seperti perburuan liar dan bahkan gangguan serangan penyakit. Tetapi masih ada kelompok
badak yang bertahan. Sekitar 50 ekor badak dari berbagai ukuran masih bertahan
sejak 1975.
Penyebaran populasi
satwa badak jenis ‘Rhinoceros Sondaicus’ tercatat pernah tersebar di India,
Myanmar, Vietnam, Laos, Vietnam, Thailand, Pulau Sumatera, dan Pulau Jawa. Saat
ini, populasi kecil sekitar 10 ekor masih hidup di Vietnam. Perkembangan
penduduk dan peradabannya membuat habitat-habitat hutan di beberapa negara
tersebut telah menyusutkan.
Tidak hanya itu, satwa
mamalia besar inipun menjadi sasaran pembunuhan, karena dianggap hama bagi
perluasan areal-areal pertanian. Kenistaan hidupnya juga menimpa, karena cula
badak, secara spiritual, dianggap merupakan bahan pengobatan penyakit dan obat
yang menyehatkan bagi kehidupan manusia.
Dibenci dan Dilindungi
Di Indonesia, kisah
Badak bercula satu sedikit berbeda. Keberadaannya di Pulau Sumatera tidak
begitu banyak ditulis, tidak demikian dengan di Pulau Jawa. Kehidupannya
sebelum kemerdekaan mungkin suatu kisah yang ironis, pernah menjadi binatang
yang dibenci, tetapi kemudian diperlakukan sebagai binatang yang sangat
dilindungi. Perubahan kebijakan terhadap badak nampak mulai munculnya paradigma
konservasi jenis hayati, yang mulai jenuh dengan penguasaan dan eksploitasi
jenis-jenis pohon.
Awalnya, Badak
bercula satu banyak tersebar di daratan Pulau Jawa, namun pertumbuhan pertanian
pada lahan dari bukaan hutan-hutan alam telah menjadi kesukaannya dalam
pencarian tanaman pakan. Usaha-usaha pertanian manjadi rugi, dengan rusaknya
tanaman pertanian dan lahan-lahanya, akibat sepak terjang dan penindasan
badak-badak. Badak bercula satu dituduh menjadi pelakunya, karena
jejak-jejaknya diketahui. Akhirnya, binatang besar itu dimaklumatkan untuk
diburu mati.
Kenistaan hidup
badak-badak bertambah, dengan usaha perburuan yang didasarkan pada culanya,
yang sebagai bahan-bahan pembuatan ramuan obat dan kesehatan manusia. Tentu
banyak badak bercula satu yang menghindar ke hutan-hutan alam di daratan pulau
berpenduduk meningkat ini. Jadi, tidak ada yang tahu ketika habitat kehidupan
Badak ini tersudut Ujung Kulon, yang berada di ujung paling barat Pulau Jawa,
lokasi di mana akhirnya hewan prasejarah itu dilindungi.
Ujung Kulon sebelum
menjadi habitat Badak bercula satu, pernah direncanakan sebagai daerah
perdagangan oleh pemerintah Hindia Belanda. Lanskap kawasan semenanjung itu
memiliki pantai yang indah, tanahnya subur dan banyak tersedia air bersih, dan
mengandung potensi batubara. Namun, hempasan ombak besar dampak letusan Gunung
Krakatau pada 26 Agustus 1883, telah menghancurkan daerah itu.
Dalam catatan
sejarah , kehidupan Badak di Ujung Kulon, tidak pernah lepas dari perburuan
liar. Meski pemerintah Hindia Belanda pada 1909 mengumumkan Badak bercula satu
dilindungi berdasarkan Staatsblaad No. 497 Tahun 1909, empat tahun kemudian,
Hoogerwerf menulis bahwa 11 ekor Badak mati akibat perburuan illegal.
Demikian juga
setelah penegasan perlindungannya kembali pada 1931 dalam Ordonansi
Perlindungan Binatang-binatang Liar (Dierensbeschermingsordonantie 1931
Staadsblad 1931 Nummer 134) masih terjadi lagi perburuan pada tahun 1935-1936,
dengan didapatinya 15 ekor tewas dibunuh. Perburuan illegal itu didorong oleh
tingginya harga cula badak, tetapi ringan sanksi hukuman bagi pelakunya. Tidak
ada catatan perburuan selama sepuluh tahun sebelum dan 15 tahun setelah hari
kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustus 1945).
Hogerwerf dalam
catatannya menyebutkan, pada 1960-an ada
sedikitnya tujuh ekor Badak mati karena perburuan liar. Kematian akibat diluar
perburuan juga terjadi, karena penyakit, yaitu pada 1981, di mana lima ekor
meninggal. Sedangkan perburuan liar yang terakhir terjadi pada 1988, dengan
ditangkapnya seorang pelakunya pada saat hendak melakukan penjualan cula badak
hasil buruannya.
Peningkatan Populasi
Pertumbuhan populasi
badak di Ujung Kulon sendiri nampak diyakini ketangguhan dan toleransinya.
Hoogerwerf menaksir ukuran populasinya meningkat, pada tahun 1937 (sekitar 25
ekor - 10 jantan dan 15 betina) pada dan tahun 1955 (antara 30 sampai 35 ekor).
Lalu menurun, berdasarkan hasil inventarisasi Prof R Schenkel pada 1967, yaitu
berkisar antara 21 sampai 28 ekor, karena ada beberapa individu yang hilang
karena perburuan.
Setelah itu setiap
tahun dilakukan inventarisasi melalui jejak-jejaknya, yang menampilkan
peningkatan tetapi kemudian stabil dalam 10 tahun terakhir, yaitu antara 50 –
60 ekor. Perkembang biakannya di masa mendatang tidak dapat dipastikan lagi. Tampaknya,
habitat alami Ujung Kulon menjadi keterpaksaan terakhir bagi hidupnya binatang
prasejarah itu. Padahal penyelamatan hewan ini sudah dilakukan sejak 1909 dari serangan
penyakit dan perburuan liar yang menimpanya. Kini, Badak bercula satu yang
tangguh itu dianggap sebagai satwa dalam kategori bahaya menuju kepunahannya.
Terancam punah, karena populasinya sangat kecil dan perkembang biakannya yang
lambat, disamping habitat dan ekosistemnya sendiri dikuatirkan dapat terganggu
karena bencana alam.
Kekuatan
perlindungan badak bercula satu dapat ditunjukkan, melalui legalitasnya dalam
UU No. 5 Tahun 1990. Sanksi hukuman yang berat bagi setiap orang, karena
sengaja atau kelalaiannya, melakukan pelanggaran, baik menangkap, membunuh,
menyimpan, mengangkut, memperniagakan, baik di dalam Indonesia atau ke luar
Indonesia, dan individu dalam keadaan hidup maupun mati, dan maupun bagian-bagian
dari tubuh individunya. Dukungan kuatnya legalitas itu nampak efektif membuat
orang tidak lagi berbuat perburuan liar terhadap badak. O ato (berbagai sumber)
Ancaman Badak Jawa---
updek
Manusia, Krakatau, dan Tsunami
Seteah dinyatan
punah di India dan Vietnam pada 2011, populasi Badak Jawa atau Rhinoceros
sondaicus hanya tinggal di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Berdasarkan
perhitungan, menggunakan metode video trap, sudah ada 55 ekor Badak Jawa yang
teridentifikasi. Jumlah itu mungkin belum semuanya, Evaluasi Data dan Program
Balai Taman Nasional Ujung Kulon, menyebutkan, salah satu faktor yang
menyulitkan inventarisasi adalah sifat hewan itu yang soliter, tak hanya
terhadap mahluk lain, juga pada sesamanya sendiri.
Banyak tantangan
yang dihadapi untuk mempertahankan kelestarian Badak pada habitatnya. Ada tekanan
dari masyarakat, juga kurangnya kepedulian. Masyarakat merasa keberadaan hewan
itu tak begitu penting, mungkin ini karena faktor pendidikan. Padahal Badak Jawa
hanya ada di Ujung Kulon. Semua itu mungkin disebabkan masyarakat tak pernah
melihat secara langsung hewan itu, sehingga tak merasa dekat.
Ujung Kulon dari
sisi tempat memang strategis untuk Badak. Letak habitat itu di semenanjung
cukup jauh dari pemukiman. Namun, kini intensitas manusia beraktivitas di
kawasan taman nasional cukup tinggi. Masyarakat ada yang mengambil madu,
mengambil burung, bahkan melakukan illegal logging. Padahal, Badak adalah hewan yang sangat peka
terhadap perubahan. Jika terganggu, hewan prasejarah itu bisa mengalami stres.
Meski menjadi
perhatian dunia internasional, Badak Jawa justru kurang terekspos di dalam
negeri. Padahal, punahnya spesies itu di Vietnam pada Oktober 2011 lalu jadi
isu dunia. Satu-satunya Badak Jawa yang ada di Vietnam dilap orkan mati akibat
ulah pemburu liar. Hewan malang ditemukan mati di Taman Nasional Cat Tien
dengan luka tembak di kaki dan culanya telah dipotong. Jika Badak Jawa punah,
kerugian yang dialami dunia tidak terhitung, terutama Indonesia karena spesies
ini tidak ditemukan di negara lain. Padahal, Indonesia sudah tidak memiliki Harimau
Jawa yang sudah punah.
Pagar Listrik
Untuk menjaga
habitat Badak di Ujung Kulon, pengelola Taman Nasional Badak Ujung Kulon
bekerja sama dengan Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA) melakukan
pemasangan pagar listrik di area konservasi itu. Pemasangan pagar listrik itu mendapat
protes dari mahasiswa yang menyatakan hal itu akan merusak ekosistem yang sudah
ada. “Jika ingin meningkatkan jumlah Badak, nanti malah badak dan hewan lainnya bisa mati," ujar
koordinator aksi.
Pengelola Taman
Nasional Ujung Kulon membantahnya. Salah seorang staf yang juga terlibat dalam
JRSCA, Dodi Sumardi menjelaskan, program tersebut berlatar belakang kondisi Badak
Jawa yang terancam punah. Habitatnya di Ujung Kulon sudah riskan. Oleh karena
itu, para pakar Badak bersepakat, perlu manajemen intensif. Perlu perlakuan
khusus yang dilakukan untuk selamatkan Badak Jawa.
Habitat Badak yang
saat ini terkonsentrasi di Ujung Kulon, terancam invasi tanaman langkap,
sejenis aren yang menyebarannya cepat dan terancam membunuh pakan badak. Karena
kondisi semenanjung yang tidak baik, para pakar Badak sepakat membuat program
JRSCA. "Program sebenarnya perluasan habitat dari Semenanjung ujung Kulon
menuju Gunung Honje bagian selatan. Wilayah bagian dari taman nasional ini tak
digunakan badak," jelasnya.
Lalu, mengapa harus
ada pemagaran? Kalau tidak dipagar ada konsekuensi yang timbul bagi perluasan, masyarakat tetap masuk. Padahal
kehadiran manusia tak baik bagi badak. Badak, adalah hewan soliter yang tak
bisa diganggu manusia. Faktor lain, hewan ternak milik warga yang berkeliaran menjadi
vektor beberapa penyakit bagi badak. Itulah
sebabnya dilakukan pemagaran karena patroli tak bisa dilakukan 24 jam. (ato)
11 Anak Badak Terpantau
Rekaman kamera video
jebakan periode 2012 di Taman Nasional Ujung Kulon menangkap keberadaan enam
anak Badak Jawa. Harapan pun muncul karena adanya peningkatan populasi spesies
endemik paling terancam punah di Indonesia itu. “Ini kabar menggembirakan.
Paling tidak, ada enam anak badak jawa baru,” kata M Haryono, Kepala Balai
Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), di Jakarta.
Keenam anak badak
jawa (Rhinoceros sondaicus) itu berusia 1-2 tahun, yang ditandai dari anakan
yang mengikuti induknya menelusuri hutan. Badak Jawa dewasa bersifat soliter
(penyendiri). Berpasangan ketika musim kawin tiba. Haryono memastikan keenam
anak badak itu berbeda individu dengan temuan lima anakan pada tahun 2011. “Lima
badak yang tampak pada monitoring 2011 juga terekam. Total ada 11 anak badak
terlihat,” jelas Haryono.
Identifikasi pun dilakukan
dengan melihat bentuk cula, telinga, lipatan kulit badan, dan tekstur kulit
pelipis. Video jebakan dipantau 6-8 bulan. Kini, detail laporan ini masih
didalami. Laporan akhir pemantauan akan dipublikasikan. Keenam anak Badak yang
ditemukan belakangan, tidak sama dengan lima anak badak yang teridentifikasi
tahun lalu, baik secara fisik maupun usianya.
Indentifikasi dari
hasil rekaman 2011, ditemukan minimal 35 ekor Badak Jawa, yang terdiri dari 22
jantan dan 13 betina. Dari populasi tersebut, terdapat lima anak Badak Jawa
dengan jenis kelamin satu betina dan empat anak jantan. "Sedangkan enam
anak badak yang ditemukan 2012, diidentifikasi berusia di bawah satu tahun
dengan jenis kelamin, dua betina dan empat jantan," katanya.
Enam anak badak itu,
kata Haryono, terekam oleh kamera pengintai di Cikeusik Hulu, Curug Cigentar
dan Hulu Cangkeuteu.Indentifikasi dilakukan oleh tim dengan mengamati berbagai
parameter kunci secara detail, yakni ada-tidaknya cula, morfologi tubuh (ukuran
dan bentuk tubuh).
Sebagaimana
diketahui, Taman Nasional Ujung Kulon menggunakan 40 kamera jebakan yang
diganti kartu perekam dan baterai sebulan sekali. Beberapa bulan lalu, Balai penelola
taman ini mendapat bantuan 120 kamera jebakan dari WWF-Indonesia. Namun, kamera
ini baru akan dioperasikan tahun 2013 setelah ditetapkan titik pemasangannya.
Sementara itu, Direktur
Program Kehutanan WWF Indonesia, Anwar Purwoto, mengatakan, peningkatan
populasi Badak Jawa juga meningkatkan kebutuhan pakan dan areal. Di sisi lain,
habitat badak terus terdesak tanaman invasif jenis palem-paleman, terutama
jenis langkap (Arenga obtusifolia).
Pembersihan tanaman
langkap di Ujung Kulon sangat mendesak. Langkah ini bisa memulihkan
keseimbangan ekosistem yang akhirnya menambah populasi tanaman pakan yang
dibutuhkan badak. Isu terakhir, Badak Jawa membutuhkan habitat kedua.
WWF-Indonesia telah mengkaji empat lokasi calon habitat baru. Empat lokasi itu
Hutan Baduy, Taman Nasional Halimun-Salak, Cagar Alam Sancang, dan Cikepuh.
Mayoritas berada di Jawa Barat.
Butuh waktu 1-2
tahun untuk memastikan habitat kedua yang cocok. Persiapan panjang dan matang
penting untuk meyakinkan lokasi itu menyediakan pakan, alam, dan kondisi yang
mendukung kelangsungan hidup badak jawa. Sebelumnya, ada rencana memagari
sebagian kawasan TNUK untuk melindungi badak jawa.
Sedangkan, Direktur
Eksekutif Yayasan Ujung Kulon, Enjat Sudrajat mengatakan, populasi Badak Jawa,
atau badak bercula satu yang hidup di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon
Pandeglang sekitar 55 ekor. “Jumlah Badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon
sekitar 55 ekor, dan kita akan berupaya membantu percepatan populasi hewan
langka itu,” katanya. O ato
Tidak ada komentar:
Posting Komentar