Jumat, 22 Maret 2013

Badak...



Geliat Badak di Ujung Kulon

Seabad lebih, upaya perlindungan Badak Jawa atau bercula satu di Ujung Kulon, tetapi populasinya tidak jauh berubah dari tiga dekade terakhir, yaitu sekitar 55 ekor. Jika tidak serius, hewan langka bercula ini mungkin suatu saat akan tinggal kenangan.

Taman Nasional Ujung Kulon di Provinsi Banten, mungkin akan menjadi saksi bisu kepunahan Badak bercula satu yang kian langka. Kawasan konservasi yang juga menjadi obyek wisata tersebut, seolah tidak mampu untuk mengembang biakan hewan di habitat aslinya. Bahkan Undag-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990 yang diterbitkan pemerintah seolah tak sanggup untuk melindungi hewan langka yang dilindungi itu.
Ujung Kulon bisa dikatakan menjadi habitat terakhir bagi kehidupan binatang prasejarah itu. Upaya melindungi jenis binatang itu sudah dilakukan satu abad lebih. Selama itu, kehidupannya di Ujung Kulon mengalami cobaan-cobaan yang mematikan, seperti perburuan liar dan bahkan gangguan serangan penyakit. Tetapi masih ada kelompok badak yang bertahan. Sekitar 50 ekor badak dari berbagai ukuran masih bertahan sejak 1975.
Penyebaran populasi satwa badak jenis ‘Rhinoceros Sondaicus’ tercatat pernah tersebar di India, Myanmar, Vietnam, Laos, Vietnam, Thailand, Pulau Sumatera, dan Pulau Jawa. Saat ini, populasi kecil sekitar 10 ekor masih hidup di Vietnam. Perkembangan penduduk dan peradabannya membuat habitat-habitat hutan di beberapa negara tersebut telah menyusutkan.
Tidak hanya itu, satwa mamalia besar inipun menjadi sasaran pembunuhan, karena dianggap hama bagi perluasan areal-areal pertanian. Kenistaan hidupnya juga menimpa, karena cula badak, secara spiritual, dianggap merupakan bahan pengobatan penyakit dan obat yang menyehatkan bagi kehidupan manusia.

Dibenci dan Dilindungi
Di Indonesia, kisah Badak bercula satu sedikit berbeda. Keberadaannya di Pulau Sumatera tidak begitu banyak ditulis, tidak demikian dengan di Pulau Jawa. Kehidupannya sebelum kemerdekaan mungkin suatu kisah yang ironis, pernah menjadi binatang yang dibenci, tetapi kemudian diperlakukan sebagai binatang yang sangat dilindungi. Perubahan kebijakan terhadap badak nampak mulai munculnya paradigma konservasi jenis hayati, yang mulai jenuh dengan penguasaan dan eksploitasi jenis-jenis pohon.
Awalnya, Badak bercula satu banyak tersebar di daratan Pulau Jawa, namun pertumbuhan pertanian pada lahan dari bukaan hutan-hutan alam telah menjadi kesukaannya dalam pencarian tanaman pakan. Usaha-usaha pertanian manjadi rugi, dengan rusaknya tanaman pertanian dan lahan-lahanya, akibat sepak terjang dan penindasan badak-badak. Badak bercula satu dituduh menjadi pelakunya, karena jejak-jejaknya diketahui. Akhirnya, binatang besar itu dimaklumatkan untuk diburu mati.
Kenistaan hidup badak-badak bertambah, dengan usaha perburuan yang didasarkan pada culanya, yang sebagai bahan-bahan pembuatan ramuan obat dan kesehatan manusia. Tentu banyak badak bercula satu yang menghindar ke hutan-hutan alam di daratan pulau berpenduduk meningkat ini. Jadi, tidak ada yang tahu ketika habitat kehidupan Badak ini tersudut Ujung Kulon, yang berada di ujung paling barat Pulau Jawa, lokasi di mana akhirnya hewan prasejarah itu dilindungi.
Ujung Kulon sebelum menjadi habitat Badak bercula satu, pernah direncanakan sebagai daerah perdagangan oleh pemerintah Hindia Belanda. Lanskap kawasan semenanjung itu memiliki pantai yang indah, tanahnya subur dan banyak tersedia air bersih, dan mengandung potensi batubara. Namun, hempasan ombak besar dampak letusan Gunung Krakatau pada 26 Agustus 1883, telah menghancurkan daerah itu.
Dalam catatan sejarah , kehidupan Badak di Ujung Kulon, tidak pernah lepas dari perburuan liar. Meski pemerintah Hindia Belanda pada 1909 mengumumkan Badak bercula satu dilindungi berdasarkan Staatsblaad No. 497 Tahun 1909, empat tahun kemudian, Hoogerwerf menulis bahwa 11 ekor Badak mati akibat perburuan illegal.
Demikian juga setelah penegasan perlindungannya kembali pada 1931 dalam Ordonansi Perlindungan Binatang-binatang Liar (Dierensbeschermingsordonantie 1931 Staadsblad 1931 Nummer 134) masih terjadi lagi perburuan pada tahun 1935-1936, dengan didapatinya 15 ekor tewas dibunuh. Perburuan illegal itu didorong oleh tingginya harga cula badak, tetapi ringan sanksi hukuman bagi pelakunya. Tidak ada catatan perburuan selama sepuluh tahun sebelum dan 15 tahun setelah hari kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustus 1945).
Hogerwerf dalam catatannya menyebutkan,  pada 1960-an ada sedikitnya tujuh ekor Badak mati karena perburuan liar. Kematian akibat diluar perburuan juga terjadi, karena penyakit, yaitu pada 1981, di mana lima ekor meninggal. Sedangkan perburuan liar yang terakhir terjadi pada 1988, dengan ditangkapnya seorang pelakunya pada saat hendak melakukan penjualan cula badak hasil buruannya.

Peningkatan Populasi
Pertumbuhan populasi badak di Ujung Kulon sendiri nampak diyakini ketangguhan dan toleransinya. Hoogerwerf menaksir ukuran populasinya meningkat, pada tahun 1937 (sekitar 25 ekor - 10 jantan dan 15 betina) pada dan tahun 1955 (antara 30 sampai 35 ekor). Lalu menurun, berdasarkan hasil inventarisasi Prof R Schenkel pada 1967, yaitu berkisar antara 21 sampai 28 ekor, karena ada beberapa individu yang hilang karena perburuan.
Setelah itu setiap tahun dilakukan inventarisasi melalui jejak-jejaknya, yang menampilkan peningkatan tetapi kemudian stabil dalam 10 tahun terakhir, yaitu antara 50 – 60 ekor. Perkembang biakannya di masa mendatang tidak dapat dipastikan lagi. Tampaknya, habitat alami Ujung Kulon menjadi keterpaksaan terakhir bagi hidupnya binatang prasejarah itu. Padahal penyelamatan hewan ini sudah dilakukan sejak 1909 dari serangan penyakit dan perburuan liar yang menimpanya. Kini, Badak bercula satu yang tangguh itu dianggap sebagai satwa dalam kategori bahaya menuju kepunahannya. Terancam punah, karena populasinya sangat kecil dan perkembang biakannya yang lambat, disamping habitat dan ekosistemnya sendiri dikuatirkan dapat terganggu karena bencana alam.
Kekuatan perlindungan badak bercula satu dapat ditunjukkan, melalui legalitasnya dalam UU No. 5 Tahun 1990. Sanksi hukuman yang berat bagi setiap orang, karena sengaja atau kelalaiannya, melakukan pelanggaran, baik menangkap, membunuh, menyimpan, mengangkut, memperniagakan, baik di dalam Indonesia atau ke luar Indonesia, dan individu dalam keadaan hidup maupun mati, dan maupun bagian-bagian dari tubuh individunya. Dukungan kuatnya legalitas itu nampak efektif membuat orang tidak lagi berbuat perburuan liar terhadap badak. O ato (berbagai sumber)

Ancaman Badak Jawa--- updek

Manusia, Krakatau, dan Tsunami

Seteah dinyatan punah di India dan Vietnam pada 2011, populasi Badak Jawa atau Rhinoceros sondaicus hanya tinggal di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Berdasarkan perhitungan, menggunakan metode video trap, sudah ada 55 ekor Badak Jawa yang teridentifikasi. Jumlah itu mungkin belum semuanya, Evaluasi Data dan Program Balai Taman Nasional Ujung Kulon, menyebutkan, salah satu faktor yang menyulitkan inventarisasi adalah sifat hewan itu yang soliter, tak hanya terhadap mahluk lain, juga pada sesamanya sendiri.
Banyak tantangan yang dihadapi untuk mempertahankan kelestarian Badak pada habitatnya. Ada tekanan dari masyarakat, juga kurangnya kepedulian. Masyarakat merasa keberadaan hewan itu tak begitu penting, mungkin ini karena faktor pendidikan. Padahal Badak Jawa hanya ada di Ujung Kulon. Semua itu mungkin disebabkan masyarakat tak pernah melihat secara langsung hewan itu, sehingga tak merasa dekat.
Ujung Kulon dari sisi tempat memang strategis untuk Badak. Letak habitat itu di semenanjung cukup jauh dari pemukiman. Namun, kini intensitas manusia beraktivitas di kawasan taman nasional cukup tinggi. Masyarakat ada yang mengambil madu, mengambil burung, bahkan melakukan illegal logging.  Padahal, Badak adalah hewan yang sangat peka terhadap perubahan. Jika terganggu, hewan prasejarah itu bisa mengalami stres.
Meski menjadi perhatian dunia internasional, Badak Jawa justru kurang terekspos di dalam negeri. Padahal, punahnya spesies itu di Vietnam pada Oktober 2011 lalu jadi isu dunia. Satu-satunya Badak Jawa yang ada di Vietnam dilap orkan mati akibat ulah pemburu liar. Hewan malang ditemukan mati di Taman Nasional Cat Tien dengan luka tembak di kaki dan culanya telah dipotong. Jika Badak Jawa punah, kerugian yang dialami dunia tidak terhitung, terutama Indonesia karena spesies ini tidak ditemukan di negara lain. Padahal, Indonesia sudah tidak memiliki Harimau Jawa yang sudah punah.

Pagar Listrik
Untuk menjaga habitat Badak di Ujung Kulon, pengelola Taman Nasional Badak Ujung Kulon bekerja sama dengan Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA) melakukan pemasangan pagar listrik di area konservasi itu. Pemasangan pagar listrik itu mendapat protes dari mahasiswa yang menyatakan hal itu akan merusak ekosistem yang sudah ada. “Jika ingin meningkatkan jumlah Badak, nanti malah badak dan  hewan lainnya bisa mati," ujar koordinator aksi.
Pengelola Taman Nasional Ujung Kulon membantahnya. Salah seorang staf yang juga terlibat dalam JRSCA, Dodi Sumardi menjelaskan, program tersebut berlatar belakang kondisi Badak Jawa yang terancam punah. Habitatnya di Ujung Kulon sudah riskan. Oleh karena itu, para pakar Badak bersepakat, perlu manajemen intensif. Perlu perlakuan khusus yang dilakukan untuk selamatkan Badak Jawa.
Habitat Badak yang saat ini terkonsentrasi di Ujung Kulon, terancam invasi tanaman langkap, sejenis aren yang menyebarannya cepat dan terancam membunuh pakan badak. Karena kondisi semenanjung yang tidak baik, para pakar Badak sepakat membuat program JRSCA. "Program sebenarnya perluasan habitat dari Semenanjung ujung Kulon menuju Gunung Honje bagian selatan. Wilayah bagian dari taman nasional ini tak digunakan badak," jelasnya.
Lalu, mengapa harus ada pemagaran? Kalau tidak dipagar ada konsekuensi yang timbul  bagi perluasan, masyarakat tetap masuk. Padahal kehadiran manusia tak baik bagi badak. Badak, adalah hewan soliter yang tak bisa diganggu manusia. Faktor lain, hewan ternak milik warga yang berkeliaran menjadi vektor beberapa  penyakit bagi badak. Itulah sebabnya dilakukan pemagaran karena patroli tak bisa dilakukan 24 jam. (ato)

11 Anak Badak Terpantau

Rekaman kamera video jebakan periode 2012 di Taman Nasional Ujung Kulon menangkap keberadaan enam anak Badak Jawa. Harapan pun muncul karena adanya peningkatan populasi spesies endemik paling terancam punah di Indonesia itu. “Ini kabar menggembirakan. Paling tidak, ada enam anak badak jawa baru,” kata M Haryono, Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), di Jakarta.
Keenam anak badak jawa (Rhinoceros sondaicus) itu berusia 1-2 tahun, yang ditandai dari anakan yang mengikuti induknya menelusuri hutan. Badak Jawa dewasa bersifat soliter (penyendiri). Berpasangan ketika musim kawin tiba. Haryono memastikan keenam anak badak itu berbeda individu dengan temuan lima anakan pada tahun 2011. “Lima badak yang tampak pada monitoring 2011 juga terekam. Total ada 11 anak badak terlihat,” jelas Haryono.
Identifikasi pun dilakukan dengan melihat bentuk cula, telinga, lipatan kulit badan, dan tekstur kulit pelipis. Video jebakan dipantau 6-8 bulan. Kini, detail laporan ini masih didalami. Laporan akhir pemantauan akan dipublikasikan. Keenam anak Badak yang ditemukan belakangan, tidak sama dengan lima anak badak yang teridentifikasi tahun lalu, baik secara fisik maupun usianya.
Indentifikasi dari hasil rekaman 2011, ditemukan minimal 35 ekor Badak Jawa, yang terdiri dari 22 jantan dan 13 betina. Dari populasi tersebut, terdapat lima anak Badak Jawa dengan jenis kelamin satu betina dan empat anak jantan. "Sedangkan enam anak badak yang ditemukan 2012, diidentifikasi berusia di bawah satu tahun dengan jenis kelamin, dua betina dan empat jantan," katanya.
Enam anak badak itu, kata Haryono, terekam oleh kamera pengintai di Cikeusik Hulu, Curug Cigentar dan Hulu Cangkeuteu.Indentifikasi dilakukan oleh tim dengan mengamati berbagai parameter kunci secara detail, yakni ada-tidaknya cula, morfologi tubuh (ukuran dan bentuk tubuh).
Sebagaimana diketahui, Taman Nasional Ujung Kulon menggunakan 40 kamera jebakan yang diganti kartu perekam dan baterai sebulan sekali. Beberapa bulan lalu, Balai penelola taman ini mendapat bantuan 120 kamera jebakan dari WWF-Indonesia. Namun, kamera ini baru akan dioperasikan tahun 2013 setelah ditetapkan titik pemasangannya.
Sementara itu, Direktur Program Kehutanan WWF Indonesia, Anwar Purwoto, mengatakan, peningkatan populasi Badak Jawa juga meningkatkan kebutuhan pakan dan areal. Di sisi lain, habitat badak terus terdesak tanaman invasif jenis palem-paleman, terutama jenis langkap (Arenga obtusifolia).
Pembersihan tanaman langkap di Ujung Kulon sangat mendesak. Langkah ini bisa memulihkan keseimbangan ekosistem yang akhirnya menambah populasi tanaman pakan yang dibutuhkan badak. Isu terakhir, Badak Jawa membutuhkan habitat kedua. WWF-Indonesia telah mengkaji empat lokasi calon habitat baru. Empat lokasi itu Hutan Baduy, Taman Nasional Halimun-Salak, Cagar Alam Sancang, dan Cikepuh. Mayoritas berada di Jawa Barat.
Butuh waktu 1-2 tahun untuk memastikan habitat kedua yang cocok. Persiapan panjang dan matang penting untuk meyakinkan lokasi itu menyediakan pakan, alam, dan kondisi yang mendukung kelangsungan hidup badak jawa. Sebelumnya, ada rencana memagari sebagian kawasan TNUK untuk melindungi badak jawa.
Sedangkan, Direktur Eksekutif Yayasan Ujung Kulon, Enjat Sudrajat mengatakan, populasi Badak Jawa, atau badak bercula satu yang hidup di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon Pandeglang sekitar 55 ekor. “Jumlah Badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon sekitar 55 ekor, dan kita akan berupaya membantu percepatan populasi hewan langka itu,” katanya. O ato

Tidak ada komentar:

Posting Komentar