Jumat, 22 Maret 2013

Lawan Obama


Melawan Deportasi Obama

Salju tidak turun pada 5 Desember 2011 di New Jersey, AS. Namun, udara dingin mulai dirasakan oleh 200 orang Indonesia yang tengah berdoa dan berjuang untuk terhindar dari deportasi pemerintahan Barack Obama. --- lead

Salju tidak turun di kawasan New Jersey Tengah, Amerika Serikat (AS) pada jam 6 petang tanggal 5 Desember 2011. Sekitar 200 orang Indonesia dan para pendukungnya menghadiri Malam Puasa dan Doa di Gereja Reformed, Highland Park, New Jersey. Suasana mencekam, tegang, dan genting terpancar dari wajah-wajah yang datang. Ini adalah bukan pertemuan biasa dalam rangkaian acara semalam suntuk itu.
Di luar gereja berbata merah ini terpampang tajuk acara pada satu spanduk besar. Bunyinya, deportasi mengoyak-ngoyak keutuhan keluarga. Betapa tidak. Sekitar 70-an lebih keluarga Indonesia di New Jersey terancam deportasi. Sebanyak 42 anak mereka kelahiran Amerika direngut paksa dan terancam terpisah dari ibu dan ayahnya yang asal Indonesia. Esok pagi, warga Indonesia ini harus melaporkan diri ke Kantor ICE (Immigration and Custom Enforcement) untuk mengetahui nasib mereka selanjutnya.
Dua tahun lalu, Pastor Seth Kaper-Dale memang mengatur kesepakatan khusus dengan pihak Imigrasi di Newark melalui program Order of Supervision. Sebagai alternatif masuk tahanan, lebih dari 70 warga Indonesia wajib lapor secara teratur ke ICE. Mereka diberi izin tinggal dan bekerja di AS, selagi mencari cara membereskan kasus imigrasi  di AS. Tapi kesepakatan itu tampaknya sudah berakhir. Pemutihan yang dinantikan selama pemerintahan Barack Obama tak kunjung datang.
Sebenarnya, sejak menjelang Natal dua tahun lalu, sekitar 70 warga Indonesia di New Jersey ini mulai menerima surat dari Homeland Security untuk siap-siap dengan tiket pesawat dan angkat koper dari Amerika. Mereka bukan pendatang baru, kebanyakan lari ke Amerika karena kemelut etnis dan agama di Indonesia di akhir tahun 90-an. Lamaran suaka politik mereka umumnya ditolak gara-gara diajukan lewat satu tahun setelah sampai di Amerika.

Surat Buat Obama
Harry Pangemanan (41) adalah salah seorang Indonesia yang hadir pada malam itu. Pangemanan datang ke AS pada 1993. Disusul istrinya, Mariyana Sunarto (46), yang mengungsi ke AS karena huru hara Mei 1998. Pangemanan, ayah dua anak, mendampingi Jocelyn, putri pertamanya, membaca surat kepada Presiden Barack Obama, yang memohon agar papa dan mamanya diperbolehkan tinggal bersamanya dan Christa (5), adiknya di Amerika.
Pangemanan tampak kusyuk berdoa. Pemimpin bible study aktif ini yakin benar dengan kekuatan doa. Akhir Maret 2009, suami Mariyana ini nyaris dideportasi. Ketika Pastor Seth mendengar, bahwa Pangemanan akan dideportasi dan sedang digiring ke pesawat, pastor gesit ini langsung berangkat menuju bandara Internasional Newark. Berjubah pastor, rohaniwan ini bersikeras meyakinkan petugas untuk bertemu Pangemanan untuk berdoa.
Tiga menit sebelum pintu gerbang pesawat ditutup dan semua penumpang sudah naik, Pastor Seth akhirnya diperbolehkan masuk badan pesawat dan mendapati Pangemanan berada di kursi paling belakang. Diapit dua agen ICE, pastor Seth menaikkan doanya bersama aktivis gerejanya ini. “Kuatlah dan jangan menyerah. Saya akan berjuang dari luar. Berikan saya waktu 3 minggu”, ujar Pastor Seth di waktu menegangkan itu.
Pesawat itu ternyata memindahkan Harry secara mendadak dari Elizabeth Detention Center di New Jersey ke Tacoma, Washington. Setelah memprotes orang-orang Obama di Washington, 2 minggu kemudian Harry Pangemanan dibebaskan dari tahanan imigrasi. Dari kasus Pangemanan inilah, program Order of Supervision yang disepakati ICE dan Gereja Pastor Seth ini mulai kepada ratusan orang Indonesia di New Jersey dan sekitarnya.
Sejak keluar dari tahanan imigrasi, Harry Pangemanan memilih tinggal dekat gerejanya dan bekerja sebagai Manager perusahaan ekspedisi. Impian Amerika keluarga Pangemanan ini terancam buyar jika dideportasi ke Indonesia. Dia mungkin tidak akan bertemu dengan kedua putrinya kelahiran Amerika dan kerabat lain yang juga warga Amerika.
Ada Harry lain pada malam itu. Harry Tuwo (41) namanya. Dia datang bersama Rita Pauned (37 dan dua putrinya, Angela (9) dan Georgia (2). Keduanya asal Manado. Mereka tinggal di kota Edison, New Jersey. Ini kota tempat Thomas Alfa Edison, penemu bola lampu dari Amerika itu.
Harry datang ke negeri Paman Sam pada 1995. Rita Pauned datang belakangan pada 1999, di masa Indonesia masih dilanda banyak kerusuhan. Tuwo dan Pauned ketemu dan menikah di Atlanta, sebelum pindah ke kota Edison. Keduanya mengajukan suaka politik di Amerika.
Harry Tuwo bekerja keras sebagai chef hibachi di sebuah restoran Jepang di Edison dan Rita Pauned tinggal di rumah menjaga Georgia, putrinya kedua yang menderita ketunaan Sindroma Down (Trisomy 21). “Di Amerika, anak saya bisa menerima terapi dan pendidikan layak dan khusus untuk anak seperti yang dialami Georgia, “ ujar Rita Pauned yang sudah berusaha mencari sekolah luar biasa buat anaknya di Manado, tapi tidak ada.
Malam semakin larut, komunitas Indonesia dan para pendukungnya menghabiskan malam itu di gereja. Ada yang berdoa sendirian, doa bersama dan doa syafaat. Semua beristirahat mengumpulkan tenaga untuk secara bersamaan melakukan ‘Talkathon’, menelepon anggota Kongres AS untuk mendukung agar mereka bisa tinggal di AS.
Di sela-sela Vigil, Pastor Seth dan beberapa warga Indonesia lainnya diwawancarai berbagai media internasional untuk menceritakan perjuangan ini.
Di satu wawancara di CNN, Pastor Seth Kaper-Dale menyatakan, “Saya marah besar. Tetapi, lebih dari itu, yang menyedihkan adalah perpolitikan di Washington membuat pemerintah kita tidak mampu untuk membuat keputusan yang berbelas kasihan guna menyelamatkan keutuhan bersama keluarga ini”.
Orang-orang seperti Harry Pangemanan dan Harry Tuwo ini berada di bawah radar Homeland Security (Imigrasi AS) karena mereka berasal dari Indonesia, negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, melakukan wajib daftar diri ke Imigrasi AS setelah Peristiwa 9/11. “Yang paling mengusik hati nurani saya, orang yang jujur dan wajib lapor diri waktu 9/11 malah dikejar, sementara orang yang tidak lapor bisa hidup bebas dari deportasi. Ini tidak fair,” ungkap Pastor Seth.
Secercah harapan muncul pada Juni 2011 ketika ICE mengeluarkan Memo Norton. Kepala ICE, John Norton, mengumumkan bahwa Imigrasi AS punya keterbatasan sumber daya, dan akan menggunakan Prosecutorial Discretion untuk menuntaskan banyak kasus imigran ilegal yang masih menggantung. Ini kebijakan yang memberikan keleluasaan kepada seorang pejabat Imigrasi AS untuk mengurangi beban kerja mereka.
Secara teori, kasus orang-orang Indonesia seperti Harry Pangemanan dan Harry Tuwo bisa diselesaikan lewat Prosecutorial Discretion.
Karena mereka sudah tinggal lebih dari 10 tahun, tidak punya catatan kriminal, selalu taat membayar pajak, punya kerabat dekat yang sudah menjadi WN Amerika, punya sumbangsih dan ikatan kuat dengan masyarakat di Amerika. O ato (berbagai sumber)
======

RUU Lindungi Pengungsi Indonesia

Perjuangan orang Indonesia di AS akhirnya mendapat dukungan dari dua anggota Kongres AS, Carolyn B Maloney (Demokrat New York) dan Frank Pallone, Jr (Demokrat New Jersey). Keduanya, pada 7 Desember 2011 memperkenalkan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berjudul “Undang Undang Perlindungan Keluarga Pengungsi Indonesia”.
RUU 3590 ini memungkinkan warga Indonesia yang mengungsi karena penganiayaan agama untuk membuka kembali kasus ‘asylum’ mereka yang ditolak. Terutama karena lewat satu tahun mengajukan
aplikasi suaka di Amerika Serikat. Aturan ini akan membuat WNI mendapat kesempatan kedua untuk membuka lagi kasus ‘asylum’ mereka dalam periode dua tahun, setelah Aturan ini diundangkan.  Tetapi, RUU hanya berlaku untuk WNI yang datang ke Amerika antara 1 Januari 1997 sampai 30 November 2002 saja.
Dalam elemen RUU, WNI yang termasuk kategori ini bisa membuka kasusnya atau melakukan aplikasi ulang ‘asylum’ tidak hanya di AS saja, tetapi juga dari luar negeri. “Amerika Serikat sudah lama melindungi pengungsi yang melarikan diri dari penganiayaan dan memberikan proses yang secara fair mempertimbangkan klaim suaka mereka. Mereka datang ke negara ini, mencari perlindungan dari kekerasan dan penganiayaan berat karena keyakinan relijius mereka, dan layak mendapat kesempatan suaka,” ujar Maloney.
Menurut Maloney, RUU ini bukan semata-mata memberikan suaka, tetapi mengatasi hambatan prosedural dalam mengajukan suaka, menyelamatkan keutuhan keluarga mereka. Batas waktu satu tahun pengajuan suaka politik di AS memang diberlakukan sejak diundangkan dalam Hukum Imigrasi AS pada 1996. “RUU ini penting sekali untuk menarik perhatian otoritas imigrasi di AS,” ungkap Pastor Seth Kaper-Dale yang banyak menolong imigran
Indonesia di New Jersey dan sekitarnya.
Sebegitu jauh sudah ada 9 anggota Kongres Demokrat yang mendukung RUU ini. Perlu sedikitnya satu anggota Kongres Republikan untuk menggolkan RUU ini menjadi UU di AS. Jika RUU berhasil diundangkan nanti, ini akan memberi dampak besar kepada ribuan WNI yang tinggal di AS yang hidup dengan status imigrasi tidak jelas.

Klarifikasi Kemenlu
Secara terpisah, jurubicara Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Negeri Indonesia, Michael T mengklarifikasi RUU yang tengah disusun Parlemen AS saat ini hanya menyangkut keimigrasian penduduk asing. “Ini sebenarnya masalah keimigrasian. Jadi RUU itu untuk memberikan kesempatan warga asing seperti yang berasal dari Indonesia yang hendak dideportasi untuk bisa mengurus izin tinggalnya lagi,” ujar Michael kepada wartawan.
Peraturan itu, jelas Michael, sama halnya dengan aturan keimigrasian yang berlaku di Indonesia. Dimana seorang warga asing harus mematuhi seluruh ketentuan keimigrasian apabila tidak ingin dideportasi. Namun dalam kaitanya dengan RUU yang tengah digodok Parlemen AS, Michael menduga ada sebagian warga Tanah Air di negara itu yang berdalih mengalami penindasan atas nama agama ketika berada di Indonesia.
Michael  tak menampik adanya konflik kekerasan bernuansa agama di Tanah Air. Namun tegasnya,konflik itu tak terjadi secara sistematis dan mengakibatkan penindasan terhadap suatu kelompok. Pemerintah bersama elemen masyarakat juga terus berupaya agar konflik bernuansa agama tak terulang. ”Adanya warga Tanah Air yang ingin tinggal di AS itu hak masing-masing. Tapi kalau mereka gunakan alasan ada penindasan maka tidak tepat,” katanya. O ato

=====

Etty Tham: 
“Saya Belum Ingin Pulang”

Pemerintah AS, beberapa bulan lalu mendeportasi 40 warga negara  Indonesia. Deportasi ini karena mereka dinilai tidak memenuhi persyaratatan izin tinggal di AS. Padahal, mereka sudah ada yang sampai sepuluh tahun tinggal di negeri ‘Paman Sam’ itu. Lantah kenmapa mereka harus dipulangkan pemerintahan Barack Obama yang pernah tinggal dan bersekolah di Indonesia ? Etty Tham, misalnya. Ibu yang sudah 10 tahun tinggal di Dover , New Hampsire, AS, dideportasi keluar dari AS, seperti dirilis Fosters.com.
Deportasi ini membuat satu persoalan tersendiri bagi Etty Tham, karena dia harus meninggalkan seorang putrinya, Sylvia Agustina Parker yang berusia dua tahun. Mitch Parker, suami Etty, diketahui sudah dideportasi terlebih dahulu. Kepergian Etty bersama suaminya 10 tahun yang lalu ke AS didorong karena adanya peluang pekerjaan yang lebih menjanjikan di AS. Selain itu, ketidakstabilan kondisi keamanan di dalam negeri (waktu itu) menjadi salahsatu faktor yang membuat mereka memutuskan melanjutkan hidup di AS.
Awalnya, Mitch Parker yang lebih dahulu berangkat ke AS dengan menggunakan visa turis. Disusul Etty dan kemudian anak-anak mereka. Mereka melewatkan batas waktu 12 bulan untuk mendapatkan suaka di AS. Sebenarnya Mitch dan Etty sudah berupaya mendapatkan suaka AS dan menyewa pengacara seharga 2 ribu dolar AS untuk mendaftarkan kasusnya ke persidangan suaka . Tapi suaka tak juga didapatnya. Etty kemudian menyewa pengacara lain tapi sang pengacara tak pernah mendaftarkan permohonannya, meski sudah mendapatkan dana.
Pada bulan Oktober 2010, secara sukarela mengajukan nama ke ICE. Etyy kemudian mendapatkan pengawasan dari ICE yang memungkinkan dirinya tinggal di AS jika dia mengikuti seperangkat ketentuan. Pada bulan Mei 2011, ia memperoleh izin kerja hingga Mei 2012. Sayangnya, ketika izin belum habis, ICE sudah menetapkan tanggal deportasi bagi dirinya pada 9 Februari 2012. “Mengapa saya? Saya tidak pernah melakukan tidak pidana apapun,” katanya kepada Foster.com, sehari sebelum keberangkatannya. “Saya belum ingin pulang,” katanya. O ato

Keputusan MA AS Soal RUU Imigrasi

Ini adalah keputusan Mahkamah Agung (MA) AS soal imigrasi di Negara Bagian Arizona. Di AS, Undang-undang Imigrasi diatur oleh pemerintahan federal, bukan negara bagian. MA AS telah memutuskan untuk meloloskan salah satu butir Rancangan Undang-undang (RUU) Imigrasi Negara Bagian Arizona, yakni RUU yang mengijinkan polisi untuk menanyakan status imigrasi seseorang.
Aturan ini dikenal sebagai Hukum Show your paper, please (Perlihatkan surat-surat Anda). Mahkamah Agung AS menilai UU ini tidak mendahului UU federal. Undang-Undang ini dinilai diskriminatif dan mengundang racial profiling terhadap orang-orang Latino dan orang-orang yang bertampang dan berlogat ‘asing’, termasuk warga negara Amerika Serikat yang sudah lama menetap di AS.
Empat butir RUU Imigrasi Arizona yang dipertimbangkan di MA AS.
1.    Polisi berhak menanyakan status imigrasi seseorang, apabila yang bersangkutan patut dicurigai sebagai orang gelap.’
2.    Polisi bisa menahan seseorang tanpa surat perintah penahanan, jika polisi mencurigai, bahwa yang bersangkutan adalah imigran yang bisa kena deportasi.
3.    Imigran yang terbukti tidak membawa surat-surat imigrasi (misal: green card atau surat ijin kerja federal) bisa didakwa melakukan kejahatan (crime) negara bagian.
4.    Imigran yang terbukti mencari kerja atau bekerja tanpa surat izin kerja akan dikenai dakwaan tindak kejahatan (crime) negara bagian.
Mayoritas negara bagian di AS menolak UU Imigrasi gaya Arizona. Setelah mengetahui besarnya dampak negatif, banyak negara bagian menjauhkan diri dari UU yang diskriminatif ini. Karena ini adalah UU negara bagian dan hanya bisa diberlakukan di Arizona atau negara-negara bagian yang meniru UU seperti itu. California dan banyak negara bagian lain tidak memberlakukan UU serupa. Polisi di California tidak wajib menanyakan status imigrasi seseorang. Bahkan di kota-kota seperti San Francisco, Oakland dan San Jose, polisi tidak diperbolehkan menanyakan status imigrasi seseorang. Tinggal dan bekerja di Amerika Serikat secara gelap bukan tindak kejahatan (crime), tapi merupakan pelanggaran sipil. O ato


Tidak ada komentar:

Posting Komentar