Jumat, 22 Maret 2013

Ajal Reformasi



 Langkah reformasi yang tertatih-tatih dihadang berbagai upaya untuk menghentikannya. Akankah reformasi mati dan dikubur diliang lahat.. ?

Masih segar dalam memori publik, gegap gempita penolakan masyarakat terhadap rencana penerbitan UU Kamnas. Kini masyarakat kembali geger ketika RUU itu bermetafora dan menjelma menjadi Inpres No.2 Tahun 2013. Mungkinkah, Inpres itu menjadikarpet merah bagi Ani Yudhoyono menuju istana...?

Empat belas tahun silam tepatnya 24 September 1999, banjir air mata melanda bumi pertiwi ketika mendapati sosok lelaki bertubuh kurus dan berkulit pucat dengan rambut panjang terurai tergolek bersimbah darah di Jl Sudirman, bilangan Semanggi, Jakarta Pusat. Tubuh kering itu terjerembab  saat diterjang peluru tajam oleh aparat. Lelaki malang itu tak lain Yun Hap salah seorang mahasiswa Fakultas Teknik Elektro UI yang turut menjadi korban kebrutalan aparat.

Peristiwa yang kemudian hari dikenal sebagaiSemanggi Berdarah ini adalah salah satu tonggak sejarah reformasi republik ini untuk menjadi negara demokrasi. Kala itu Yun Hap beserta beberapa rekan sejawatnya melakukan aksi demo untuk menolak penerbitan RUU Penanganan Keadaan Bahaya (PKB) yang subtansinya sami mawon alias sama saja dengan RUU Kamnas. Tidak berlebihan jika kemudian Yun Hapdibaiat menjadi salah satu dari Pahlawan Reformasi.

Salah satu agenda reformasi adalah menegakkan supremasi sipil selain memberantas korupsi dan menegakkan supremasi hukum. Namun sayang,  tumbal nyawa Yun Hap itu seakan-akan sia-sia ketika pemerintah menerbitkan Inpres No 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Nasional Dalam Negeri.

Karena secara subtansi antara, RUU PKB, RUU Kamnas dengan Inpres No.2 Tahun 2013 itu ternyata pada bae alias beda-beda tipis. Pemerintah seakan tutup mata-tutup telinga dengan aspirasi masyarakat yang sebelumnya dengan heroik menolak niat pemerintah yang begitungebet menyorongkan RUU Kamnas itu.

Laksana air bah, penolakkan itu sebenarnya datang secara bergelombang. Dari kalangan aktivis demokrasi nyaris semua menolak penerbitan Inpres itu seperti misalnya Kontras, Imparsial, IPSP,SETARA Institute, LBH Pers, Maarif Institute, Rupa-Rupa (RuRu), Kultur Blender, Walhi Nasional, PSHK, KPI, Perempuan Mahardika, Nasional Papua Solidarity hingga organisasi profesi seperti Peradi serta Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).

Semua mengeluarkan tesis yang sama bahwa terbitnya Inpres No. 2 Tahun 2013 membuktikan jika rezim SBY telah melakukan kesalahan yang sama dengan rezim Orde Baru yang menerjunkan TNI dalam ranah Kamtibmas yang menjadi domainnya Polri.

Senada seirama dengan suara penolakkan dari kalangan aktivis, para politisi di Senayanpun juga mengakugerah dengan penerbitan Inpres itu. Bahkan dengan terkesan sewot, politisi dari PDIP Eva Kusuma Sundari menyatakan bahwa Pemerintah menarik kembali TNI dalam urusan Kambtibmas merupakan aib dan dosa besar, œIni merupakan pengkhianatan terhadap reformasi
 ujarnya. Sejawat Eva Sundari dari PDIP, yang juga mantan Pangdam I Bukit Barisan,  Mayjend (Purn) Tri Tamtomo kepada NOVUM menyatakan bahwa seharusnya masalah itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) ketimbang Inpres. Karena menurut Tri Tamtomo  masalah perbantuan TNI, sebelumnya sudah diatur dalam Peraturan Panglima (Perpang) TNI.

Sehingga dibalik ngotot danngebetnya SBY menerbitkan UU Kamnas maupun Inpres No. 2 tahun 2013 itu tak urung mengapungkan kecurigaan, ada agenda pribadi apa SBY menerbitkan Inpres itu. Ada beberapa tesis serta skenario yang mungkin terjadi. Pertama, adalah untuk kepentingan pasca 2014 yakni SBY tidak ingin keluarganyatersentil persoalan pasca dirinya lengser. Yang kedua adalah skenario yang paling buruk adanyachaos sehingga SBY bisa mengambil kendali sepenuhnya. Termasuk memungkinkan memasangsang permaisuri menjadi RI 1.Apalagi, sebuah sumber di gedung DPR mengatakan, RUU Kamnas akangol pada Juli 2013 mendatang.

Namun, pihak pemerintah berdalih penerbitan Inpres No. 2 Tahun 2013 tersebut adalah untuk menciptakan harmoni serta koodinasi antar stake houlders (pemangku kepentingan) terutama dimasing-masing daerah dalam mengendalikan keamanan.
Jadi Kepala Daerah disitu bisa mengkoordinasikan semua potensi yang ada didaerah seperti Kapolda dan Pangdam serta unsur lain di masyarakat ujar Menteri  Dalam Nageri, Gamawan Fauzi.

Senada dengan Mendagri, Ketua Lemhanas, Budi Susilo Soepandji menyatakan dasar penerbitan Inpres tersebut merupakan jalan tengah karena gangguan Ka
mbtibmas dan konflik yang semakin kompleks. œRUU Kamnas hingga akhir tahun 2012 masih buntu sedangkan kebutuhan penyelesaian konflik komunal sangat mendesak, maka Inpres dikeluarkan, ujarnya usai berdiskusi bersama dengan media massa di kantor Lemhanas beberapa waktu yang lalu.

Dia menambahkan Inpres dibutuhkan untuk bisa memudahkan perbantuan TNI ke Polri. Lewat Inpres itu diharapkan optimalisasi peran TNI dan Polri bisa selalu berdampingan dalam meredam konflik. Menurutnya, penerbitan Inpres merupakan upaya agar rakyat di daerah konflik bisa diselamatkan. Penggunaan TNI yang menggunakan anggaran negara juga bisa optimal. Jadi, bukan dalam konteks melanggar HAM atau menghilangkan demokrasi, tapi untuk menjaga keutuhan bangsa. Maka TNI perlu diberdayakan, jelasnya.

Berbagai penilaian dari banyak pihak bahwa secara urgensi, Inpres No 2 2013 dan RUU Kamnas sejatinya tidak dibutuhkan untuk saat ini, tak mendapat respon. Bahkan kobaran semangat penolakan terhadap RUU Kamnas dan Inpres No 2 tahun  2013 yang dituding banyak mengandung pasal-pasal bermasalah sebab dapat mengancam kehidupan kebebasan dan demokrasi itu, bakanjing menggonggong kafilah  berlalu.O tim


Gendrang perang sudah ditabuh  melawan para penghianat reformasi. Siapa menang ? Laksana meniup sangkakala (terompet kematian, red), penerbitan Inpres No. 2 Tahun 2013 tak urung menimbulkan berita duka bagi kalangan aktivis demokrasi. Laskar ijo pun kembali merangsek ke medan sipil (back to civil society) dan menggempur supremasi sipil yang menjadi amanat dasar reformasi.

Siang itu suasana begitu khidmat ketika Presiden SBY mulai memimpin sidang rapat kerja pemerintah, di Plenary Hall, Jakarta Convention Centre, Jakarta, Senin 28 Januari 2013. Hari ini, saya keluarkan Inpres (Instruksi Presiden) No. 2/2013. Inti Inpres tersebut adalah, Instruksi saya untuk tingkatkan efektifitas penanganan gangguan keamanan di seluruh tanah air
 ujar Presiden SBY. Sontak, pidato SBY itu bagi sebagian kalangan tak ubahnya seperti genta kematian yang sedang berdentang.

Tak ur
ung tesis, analisa hingga kecurigaanpun berhamburan dibalik penerbitan Inpres itu. Maklum ini kali yang ketiga pemerintah berencana menerbitkan peraturan tersebut. Pertama adalah pada eranya Presiden Habibie yang kala itu bernafsu menerbitkan UU Penanganan Keadaan Bahaya (PKB), penolakkan masyarakat akhirnya memakan tumbal Yun Hap.

Gagal di UU PKB pemerintahan  SBY kembali menyorongkan RUU Kamnas. Belum juga usai pembahasan RUU Kamnas  pemerintah tiba-tiba menerbitkan Inpres No. 2 tahun 2013. Isi dari ketiga peraturan itu ternyata pada bae, cuma ganti baju doang yakni memberi ruang kepada militer untuk turut cawe-cawe (membantu, red) Polri dalam mengendalikan Kamtibnas. Sesuatu yang sangat diharamkan oleh amanat reformasi.
Memang, konsideran dan argumentasi penerbitan Inpres itu atas dasar semakin meningkatnya kualitas dan eskalasi gangguan Kamtibmas seperti yang terjadi Poso, Kalianda, Palembang, Lampung hingga Bima, NTB. Namun tak urung pemerintah dicurigai memiliki agenda tersendiri dibalik penerbitan Inpres itu.
Ini jelas mengaburkan kembali fungsi dari aktor-aktor keamanan nasional kritik Anggota Komisi I DPR RI, Helmy Faisal ketika menghadiri diskusi yang bertajuk œMembongkar Kepentingan SBY Dibalik Inpres No.2/2013 di Galery Cafe, Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat awal Februari lalu.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Presidium Indonesia Police Wacth (IPW), Neta S Pane secara spesifik menduga adanya kepentingan pribadi SBY, œSaat ini kan muncul kecaman-kecaman dari masyarakat termasuk kita kemarin ke KPK melaporkan dugaan penggelapan pajak SBY, kemudian Century, ini kan biar bagaimanapun menakutkan SBY dan keluarga Cikeas. Bagaimana di 2014 mereka minta aman tidak dikejar-kejar dan tidak masuk Cipinang, nah gitu
 ujar Neta.

Bahkan Neta juga mencurigai adanya agenda politik di balik Inpres itu.
Sepertinya ini dikeluarkan untuk memberikan semacam permen kepada TNI, sehingga TNI bisa menjaga SBY. Syukur-syukur tahun 2014, TNI mendukung keluarga Cikeas lagi untuk memimpin negara ini, itu analisis kita. Tapi faktanya benar atau tidak kita lihat nanti 2014," ungkapnya.

Sementara tak kalah keras, Koordinator Riset Imparsial Ghufron Mabrur dalam konfrensi pers dikantornya awal Februari lalu, mendesak parlemen mengevaluasi Inpres No 2 tahun 2013 dan MoU TNI- Polri. Menurutnya Inpres yang ditindak lanjuti dengan penanda tanganan MoU Polri-TNI adalah bentuk pemberian  cek kosong bagi TNI untuk terlibat lebih jauh dan lebih luas dalam menangani keamanan dalam negeri.

Selain persoalan Inpres dan MoU TNI-Polri, Imparsial juga menyayangkan langkah Pemerintah dan parlemen yang tetap memasukkan RUU Keamanan Nasional (Kamnas) ke dalam Prolegnas 2013. Karena secara urgensi, RUU Kamnas sejatinya tidak kita butuhkan untuk saat ini.

Kalangan praktisi hukum seperti Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) juga angkat bicara. Pengurus Departemen Hak Asasi Manusia Dewan Pengurus Nasional Peradi, Rivai Kusumanegara   menilai Inpres No 2 tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri yang mengatur penanganan khusus terhadap konflik sosial sangat membahayakan situasi dalam negeri karena kembali melibatkan TNI seperti di era Orde Baru. "Keberadaan Inpres No 2 tahun 2013 merupakan pengulangan kesalahan orde baru serta pengingkaran amanat Reformasi, di mana secara pragmatis TNI kembali dilibatkan dalam pemulihan keamanan tanpa batasan yang jelas," kata Rivai Kusumanegara.

Menurut Rivai, persoalan keamanan seharusnya merupakan tugas dan fungsi Polri sebagaimana di negara-negara lain. Pendidikan dan persiapan TNI sangatlah berbeda dengan Polri, sehingga bila TNI dilibatkan dalam penanggulangan keamanan akan rentan terhadap pelanggaran HAM. "Kita harus membesarkan TNI sesuai tugas dan fungsinya dalam mempertahankan kedaulatan negara, menjaga keutuhan NKRI, hingga menjaga perdamaian dunia. Bukan mendegradasi keberadaannya dengan melahirkan Inpres No 2 tahun 2013," tegasnya.

Sementara anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Edy Saputra Hasibuan mengingatkan, penerbitan Inpres No 2 tahun 2013 harus menjadi bahan instropeksi  bagi Polri. Agar kedepan  terus meningkatkan kinerjanya  dalam menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya untuk memelihara ketertiban dan keamanan dalam negeri  serta penegakan hukum secara tegas.

Dia meminta agar Kapolri tidak segan-segan mencopot Kapolda atau Kapolres yang tidak mampu mengendalikan kamtibmas di daerahnya masing-masing.
Seperti mengamini, Anggota Komisi III Bidang Hukum DPR, Eva Kusuma Sundari mengatakan pengajuan RUU Kamnas dan Inpres no 2 tahun 2013 merupakan puncak buruknya penegakan hukum di negeri ini. "Ini merupakan dampak atau cermin dari kinerja penegak hukum yang rendah integritasnya sehingga gagal mendeliver keadilan," kata Eva, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, RUU Kamnas dan Inpres No2 tahun 2013 berpotensi memundurkan demokrasi dengan prinsip supremasi sipil. œIni merupakan pengkhianatan reformasi," tegasnya. O tim
Kemampuan dan profesionalitas serta kualitas maupun krediblitas pimpinan, pemicu wacana untuk melibatkan militer dalam menangani Kamtibmas.

Bak cerita legenda Bisma dalam serial Bharata Yudha, Panglima Perang nan gagah berani itu akhirnya harus gugur oleh hujaman puluhan anak panah dari saudara-saudaranya sendiri. Hanya karena Bisma bingung untuk berpihak antara Pendawa atau Kurawa dalam perang puputan.

Kini, dengan terbitnya Inpres No. 2 Tahun 2013 tak ubahnya silent operation untuk memanah dan mengamputasi kewenangan Polri. Sementara sebelumnya, kaki Polri sudah terpanah oleh MoU antara Polri dengan KPK. Tidak hanya itu, Polri juga dipermalukan dengan terungkapnya kasus dugaan istri muda Irjen Djoko Susilo,oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), membuat citra Polri kian terjerambab.

Sesuai dengan standar negara demokrasi di belahan dunia manapun, gangguan Kamtibmas sepenuhnya menjadi kewenangan Polisi.Begitu juga di negeri ini seperti amanat Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Keterlibatan militerpun harus dinisbikan dan dinihilkan, apalagi setelah dengan rawe-rawe rantas malang-malang putung (bersama-sama dengan sekuat tenaga, red) mahasiswa bersama  unsur civil society lainnya mendorong militer kembali ke habitat awal (back to barrack) dalam reformasi lalu.

Bila sebelumnya, Polri  dibuat terkulai dan tak berdaya menghadapi KPK dalam serial perseteruan KPK-Polri, kini Korps Bahyangkara itu kembali harus menghadapi ancaman amputasi kewenangan lewat Inpres No. 2 Tahun 2013  tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri. Dalam Inpres tersebut secara cetho wela-welo alias eksplisit, memungkinkan militer untuk nimbrung dalam menangani gangguan Kamtibmas. Prahara yang melanda membuat kredibilitas Polri seakan terpasung.

Pertanyaannya, apakah memang korps Bhayangkara dengan laskar thelik sandinya sudah tidak mampu dalam mengatasi itu ? Secara obyektif, minus tentang perilaku korup beberapa oknumnya, dengan segala keterbatasan sebenarnya Polri sudah cukup mampu mengatasi masalah Kamtibmas.

Seperti diketahui dalam kondisi serba minim sarana dan prasarana termasuk  rasio jumlah Polri dengan masyarakat kita 1 : 600 masih jomplang dengan standar internasional (PBB) 1 : 300. Prestasi Polri patut diapresiasi terutama dalam pemberantasan  terorisme. Dan hal itu sudah diakui dunia terutama kemampuan thelik sandi kita yang dikenal dengan intel melayu.

Namun kini dengan terbitnya Inpres itu tak urung membuat sejumlah pihak di Korps Bhayangkara meriang dan adem panas karena terancam kewenangannya diamputasi. Celakanya, Inpres itu akan dibalut menggunakan UU Kamnas yang menurut sumber NOVUM di DPR dapat dipastikan akan digolkan pada bulan Juli mendatang. Pengesahan UU Kamnas serta Inpres itu seakan terjustifikasi dengan munculnya kerusuhan dimana-mana. Lalu dari semua kerusuhan yang terjadi,  berending dengan penilaian bahwa aparat Kepolisian tidak bisa mengendalikan suasana.
 
Anehnya, meski mendapat serangan dari kanan- kiri sikap Polri terkesan mandah dan derek kerso (pasrah). Baik dalam kasus dengan KPK maupun terkait dengan RUU Kamnas. Padahal menurut sumber NOVUM tidak sedikit Pati aktif maupun Purnawirawan yang mengaku gerah dengan kondisi saat ini. Para kolega Kapolri yang enggan disebut namanya itu mengilustrasikan jika kondisi Polri saat ini sudah berada dibibir jurang. Bahkan dengan menganalogikan kondisi Polri saat ini, ibarat tongkat komando Polri itu sudah tidak ada ditangan TB (Tribrata)1.
 
Sehingga sumber tadi menilai, jika Polri sudah tidak independen lagi dan berada dalam tekanan. Kesan sikap pasrah itu terlihat dari penyataan Kapolri, Jenderal Timur Pradopo ketika di tanya tentang RUU Kamnas.
Semuanya kan masih diproses di DPR. Masih ada tahapan-tahapan di sana, prinsipnya kita akan ikuti proses itu jelas Kapolri. Bahkan ketika disinggung kenapa Kapolri ikut paraf terhadap RUU itu jawabanyapun kembali kita ikuti proses itu saja tandasnya.

Penilaian yang berbeda dilontarkan oleh Anggota Komis
i Kepolisian Nasional (Kompolnas), Edy Saputra Hasibuan menilai bahwa dengan terbitnya Inpres No. 2 Tahun 2013 itu bisa dijadikan dasar bagi Polri untuk instropeksi diri serta membenahi dan meningkatkan profesionalismenya sehingga mampu meningkatkan kinerjanya untuk  mengatasi gangguan Kamtibmas. Bahkan Edy Saputra juga mendesak Kapolri untuk bertindak tegas dengan berani memecat para Kapolda yang gagal mengatasi gangguan Kamtibmas di wilyahnya masing-masing.

Sementara analisa tim Kontras  menyebutkan, lahirnya Inpres sesungguhnya tidak hanya dilatarbelakangi ancaman gangguan Kamtibmas. Namun, lebih jauh dari itu, Inpres ini memberikan penegasan serangkaian agenda politik Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sepanjang dua periode kepemimpinannya, telah gagal menyediakan kebutuhan dasar, yakni perlindungan hak-hak fundamental warga negara Indonesia.

Konflik agraria dan sumber daya alam, kekerasan berbasis minoritas, kriminalitas yang dialami pegiat lingkungan hidup, HAM, anti-korupsi, dan jurnalis. Bahkan hak-hak dasar warga negara untuk berkumpul mengekspresikan aspirasi sosial politiknya secara damai, selalu disederhanakan dengan model respons negara yang mengedepankan keamanan.
Pendekatan keamanan yang selalu dijadikan tulang punggung untuk menyokong agenda reformasi Indonesia adalah sebuah keniscayaan yang tidak terbantahkan lagi. O tim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar