‘Memalak’ Pekerja Atas Dasar UU
Penolakan terhadap
Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Pengelola Jaminan Sosial
(BPJS) dan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
masih terus dikumandangkan pekerja. Kedua
undang-undang itu dinilai bertentangan dengan amanat UUD 1945, terutama Pasal
34 (2) yang berbunyi: "Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi
seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat kemanusiaan". Tidak hanya itu, UU BPJS dan SJNS juga
dinilai mensahkan ‘pemalakan’ terhadap para pekerja yang direstui oleh UU.
Sebenarnya, jaminan sosial bagi seluruh rakyat dalam sebuah negara
sangat penting. Melalui program itu, seluruh rakyat akan mendapatkan
kesejahteraan sosial baik kesehatan, pendidikan maupun jaminan hari tua
(pensiun). Hal itu bisa diatur oleh UU Nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN. Namun,
UU ini bukan mengatur jaminan sosial seperti yang diharapkan, sebaliknya justru
mengatur tentang asuransi sosial yang kelola
BPJS.
Seperti pada Pasal 19 ayat 1
UU SJSN yang menegaskan: Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional
berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Begitu juga dalam hal
jaminan kecelakaan kerja (Pasal 29), jaminan hari tua (pasal 35), jaminan
pensiun (pasal 39) dan jaminan kematian (pasal 43). Yang dimaksud prinsip
asuransi sosial itu adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib
yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi
yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya” seperti yang tertulis pada
Pasal 1 ayat 3.
Artinya, UU SJSN secara fundamental telah mengubah kewajiban negara
dalam memberikan jaminan sosial kepada rakyatnya menjadi kewajiban rakyat untuk
mendapatkan jaminan sosial itu. Dengan UU ini hak sosial rakyat justru diubah
menjadi kewajiban. Padahal, jaminan sosial bagi seluruh rakyat dalam sebuah
negara sangat penting. Melalui program itu seluruh rakyat akan mendapatkan
kesejahteraan sosial baik kesehatan, pendidikan maupun jaminan hari tua.
Mantan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Siti Fadilah Supari,
Sp.JP(K) menyatakan, UU SJSN adalah sebuah instrumen pemerintah untuk ‘memalak’
pekerja di Indonesia. Karena, isinya menarik iuran wajib setiap bulan dari pekerja
dengan cara mudah dan direstui UU. Mungkin saja untuk yang miskin akan dibayari
pemerintah, namun atas nama hak sosial, sebenarnya rakyat ditipu.
Coba lihat Bab 5 pasal 17, ayat 1, 2 dan 3 UU No. 40 tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Ayat
1: Tiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya berdasarkan prosentase
upah atas suatu jumlah nominal tertentu. Ayat
2: Pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya dan menambahkan iuran
yang menjadi kewajibannya dan membayarkan ke BPJS secara berkala. Ayat 3: besarnya iuran ditetapkan untuk
setiap jenis program secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi
dan kebutuhan dasar hidup yang layak.
UU SJNS tidak ada sisi positifnya bagi kaum pekerja. Apalagi UU
tersebut dibidani oleh pihak asing, yang secara tidak langsung akan dibuat
sesuai dengan kepentingan mereka. Mestinya SJSN itu wujudnya menjadi wujud
tanggung jawab pemerintah dalam melindungi rakyatnya sesuai perintah
konstitusi. Hak sosial rakyat itu harus menjadi kewajiban pemerintah melalui
APBN, sehingga pemerintah tidak lagi harus memungut iuran, memotong gaji, dan
upah pekerja. SJSN itu harus menjadi program seluruh rakyat tanpa diskriminasi
dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan umum.
Kehadiran UU BPJS tak jauh beda dengan UU SJSN. UU BPJS adalah turunan
atau implementasi dari UU No. 40 tahun 2004 yang keberadaannya atas sponsorship
kepentingan pengusaha asing. Meskipun namanya BPJS, isinya bukan tentang
jaminan sosial, tetapi cara mengumpulkan dana masyarakat secara paksa, termasuk
dana APBN untuk masyarakat miskin.
Dana dari ratusan juta rakyat Indonesia itu nanti disetor ke BPJS lalu
dikuasakan kepada segelintir orang yang namanya wali amanah. Lembaga ini sangat
independen, tidak boleh ada campur tangan Pemerintah. Nanti dana yang terkumpul
ini akan digunakan untuk kepentingan bisnis kelompok tertentu, termasuk
perusahaan asing, yang sulit dipertanggungjawabkan.
Hal itu membuat rakyat
akan kehilangan hak-hak sosialnya yang harus dipenuhi oleh negara. Sebaliknya,
Negara menghilangkan kewajiban dari dirinya dan membebankannya ke pundak
rakyat. Rakyat diharuskan menanggung bebannya sendiri dan beban sesama rakyat.
Itulah prinsip kegotong-royongan SJSN yang maknanya adalah prinsip kebersamaan
antar peserta dalam menanggung beban biaya jaminan sosial, yang diwujudkan
dengan kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai dengan tingkat gaji,
upah, atau penghasilannya (penjelasan pasal 4).
Terlepas dari semua
itu, realitas kehidupan para pekerja seharusnya menjadi referensi pemerintah
dalam menentukan kebijakan perlindungan pekerja. Penolakan kaum buruh terhadap
pengalihan dana JHT (Jaminan Hari Tua) dari Jamsostek ke BPJS menunjukkan belum
adanya komunikasi dan sosialisasi yang baik dari pemerintah dengan kaum pekerja.
Penolakan kaum buruh terhadap pemberlakuan BPJS dan ancaman untuk menarik dana
JHT disebabkan belum adanya kesepahaman tentang manfaat dari BPJS.
BPJS sebenarnya dibentuk
untuk melindungi kaum pekerja. Selama ini, untuk iuran ke Jamsostek perusahaan
yang membayarnya. Jadi ketika pekerja diminta membayar iuran, mereka pasti
menolak. Pekerja akan merasa pendapatan mereka semakin berkurang dengan adanya
kewajiban membayar iuran tersebut. Untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari
saja sudah sulit, bagaimaa mau memikirkan hari tua.
Ketentuan kewajiban
membayar iuran yang tercantum dalam UU 40/2004 dan UU 24/2011 mungkin hal yang
wajar bagi pekerja yag memiliki hasil berlebih. Namun, jika untuk pekerja yang
merasa upah yang mereka terima belum bisa hidup layak, hal itu tentu akan
memberatkan. Oleh karena itu, realitas kehidupan pekerja harus menjadi
referensi pemerintah dalam menentukan kebijakan. O suprapto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar