Rabu, 27 Maret 2013

Implementasi UU BPJS dan SJSN:



‘Memalak’ Pekerja Atas Dasar UU

Penolakan terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) dan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) masih terus dikumandangkan pekerja.  Kedua undang-undang itu dinilai bertentangan dengan amanat UUD 1945, terutama Pasal 34 (2) yang berbunyi: "Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan". Tidak hanya itu, UU BPJS dan SJNS juga dinilai mensahkan ‘pemalakan’ terhadap para pekerja yang direstui oleh UU.
Sebenarnya, jaminan sosial bagi seluruh rakyat dalam sebuah negara sangat penting. Melalui program itu, seluruh rakyat akan mendapatkan kesejahteraan sosial baik kesehatan, pendidikan maupun jaminan hari tua (pensiun). Hal itu bisa diatur oleh UU Nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN. Namun, UU ini bukan mengatur jaminan sosial seperti yang diharapkan, sebaliknya justru mengatur tentang asuransi sosial yang  kelola BPJS.
Seperti pada Pasal 19 ayat 1 UU SJSN yang menegaskan: Jaminan kesehatan diselenggarakan​ secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Begitu juga dalam hal jaminan kecelakaan kerja (Pasal 29), jaminan hari tua (pasal 35), jaminan pensiun (pasal 39) dan jaminan kematian (pasal 43). Yang dimaksud prinsip asuransi sosial itu adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya” seperti yang tertulis pada Pasal 1 ayat 3.
Artinya, UU SJSN secara fundamental telah mengubah kewajiban negara dalam memberikan jaminan sosial kepada rakyatnya menjadi kewajiban rakyat untuk mendapatkan jaminan sosial itu. Dengan UU ini hak sosial rakyat justru diubah menjadi kewajiban. Padahal, jaminan sosial bagi seluruh rakyat dalam sebuah negara sangat penting. Melalui program itu seluruh rakyat akan mendapatkan kesejahteraan sosial baik kesehatan, pendidikan maupun jaminan hari tua.
Mantan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K) menyatakan, UU SJSN adalah sebuah instrumen pemerintah untuk ‘memalak’ pekerja di Indonesia. Karena, isinya menarik iuran wajib setiap bulan dari pekerja dengan cara mudah dan direstui UU. Mungkin saja untuk yang miskin akan dibayari pemerintah, namun atas nama hak sosial, sebenarnya rakyat ditipu.
Coba lihat Bab 5 pasal 17, ayat 1, 2 dan 3 UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Ayat 1: Tiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya berdasarkan prosentase upah atas suatu jumlah nominal tertentu. Ayat 2: Pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya dan menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan ke BPJS secara berkala. Ayat 3: besarnya iuran ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak.
UU SJNS tidak ada sisi positifnya bagi kaum pekerja. Apalagi UU tersebut dibidani oleh pihak asing, yang secara tidak langsung akan dibuat sesuai dengan kepentingan mereka. Mestinya SJSN itu wujudnya menjadi wujud tanggung jawab pemerintah dalam melindungi rakyatnya sesuai perintah konstitusi. Hak sosial rakyat itu harus menjadi kewajiban pemerintah melalui APBN, sehingga pemerintah tidak lagi harus memungut iuran, memotong gaji, dan upah pekerja. SJSN itu harus menjadi program seluruh rakyat tanpa diskriminasi dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan umum.
Kehadiran UU BPJS tak jauh beda dengan UU SJSN. UU BPJS adalah turunan atau implementasi dari UU No. 40 tahun 2004 yang keberadaannya atas sponsorship kepentingan pengusaha asing. Meskipun namanya BPJS, isinya bukan tentang jaminan sosial, tetapi cara mengumpulkan dana masyarakat secara paksa, termasuk dana APBN untuk masyarakat miskin.
Dana dari ratusan juta rakyat Indonesia itu nanti disetor ke BPJS lalu dikuasakan kepada segelintir orang yang namanya wali amanah. Lembaga ini sangat independen, tidak boleh ada campur tangan Pemerintah. Nanti dana yang terkumpul ini akan digunakan untuk kepentingan bisnis kelompok tertentu, termasuk perusahaan asing, yang sulit dipertanggungjawabkan.
Hal itu membuat rakyat akan kehilangan hak-hak sosialnya yang harus dipenuhi oleh negara. Sebaliknya, Negara menghilangkan kewajiban dari dirinya dan membebankannya ke pundak rakyat. Rakyat diharuskan menanggung bebannya sendiri dan beban sesama rakyat. Itulah prinsip kegotong-royong​an SJSN yang maknanya adalah prinsip kebersamaan antar peserta dalam menanggung beban biaya jaminan sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai dengan tingkat gaji, upah, atau penghasilannya (penjelasan pasal 4).
Terlepas dari semua itu, realitas kehidupan para pekerja seharusnya menjadi referensi pemerintah dalam menentukan kebijakan perlindungan pekerja. Penolakan kaum buruh terhadap pengalihan dana JHT (Jaminan Hari Tua) dari Jamsostek ke BPJS menunjukkan belum adanya komunikasi dan sosialisasi yang baik dari pemerintah dengan kaum pekerja. Penolakan kaum buruh terhadap pemberlakuan BPJS dan ancaman untuk menarik dana JHT disebabkan belum adanya kesepahaman tentang manfaat dari BPJS.
BPJS sebenarnya dibentuk untuk melindungi kaum pekerja. Selama ini, untuk iuran ke Jamsostek perusahaan yang membayarnya. Jadi ketika pekerja diminta membayar iuran, mereka pasti menolak. Pekerja akan merasa pendapatan mereka semakin berkurang dengan adanya kewajiban membayar iuran tersebut. Untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari saja sudah sulit, bagaimaa mau memikirkan hari tua.
Ketentuan kewajiban membayar iuran yang tercantum dalam UU 40/2004 dan UU 24/2011 mungkin hal yang wajar bagi pekerja yag memiliki hasil berlebih. Namun, jika untuk pekerja yang merasa upah yang mereka terima belum bisa hidup layak, hal itu tentu akan memberatkan. Oleh karena itu, realitas kehidupan pekerja harus menjadi referensi pemerintah dalam menentukan kebijakan. O suprapto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar