Rabu, 27 Maret 2013

Implementasi UU BPJS dan SJSN:



‘Memalak’ Pekerja Atas Dasar UU

Penolakan terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) dan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) masih terus dikumandangkan pekerja.  Kedua undang-undang itu dinilai bertentangan dengan amanat UUD 1945, terutama Pasal 34 (2) yang berbunyi: "Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan". Tidak hanya itu, UU BPJS dan SJNS juga dinilai mensahkan ‘pemalakan’ terhadap para pekerja yang direstui oleh UU.
Sebenarnya, jaminan sosial bagi seluruh rakyat dalam sebuah negara sangat penting. Melalui program itu, seluruh rakyat akan mendapatkan kesejahteraan sosial baik kesehatan, pendidikan maupun jaminan hari tua (pensiun). Hal itu bisa diatur oleh UU Nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN. Namun, UU ini bukan mengatur jaminan sosial seperti yang diharapkan, sebaliknya justru mengatur tentang asuransi sosial yang  kelola BPJS.
Seperti pada Pasal 19 ayat 1 UU SJSN yang menegaskan: Jaminan kesehatan diselenggarakan​ secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Begitu juga dalam hal jaminan kecelakaan kerja (Pasal 29), jaminan hari tua (pasal 35), jaminan pensiun (pasal 39) dan jaminan kematian (pasal 43). Yang dimaksud prinsip asuransi sosial itu adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya” seperti yang tertulis pada Pasal 1 ayat 3.
Artinya, UU SJSN secara fundamental telah mengubah kewajiban negara dalam memberikan jaminan sosial kepada rakyatnya menjadi kewajiban rakyat untuk mendapatkan jaminan sosial itu. Dengan UU ini hak sosial rakyat justru diubah menjadi kewajiban. Padahal, jaminan sosial bagi seluruh rakyat dalam sebuah negara sangat penting. Melalui program itu seluruh rakyat akan mendapatkan kesejahteraan sosial baik kesehatan, pendidikan maupun jaminan hari tua.
Mantan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K) menyatakan, UU SJSN adalah sebuah instrumen pemerintah untuk ‘memalak’ pekerja di Indonesia. Karena, isinya menarik iuran wajib setiap bulan dari pekerja dengan cara mudah dan direstui UU. Mungkin saja untuk yang miskin akan dibayari pemerintah, namun atas nama hak sosial, sebenarnya rakyat ditipu.
Coba lihat Bab 5 pasal 17, ayat 1, 2 dan 3 UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Ayat 1: Tiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya berdasarkan prosentase upah atas suatu jumlah nominal tertentu. Ayat 2: Pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya dan menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan ke BPJS secara berkala. Ayat 3: besarnya iuran ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak.
UU SJNS tidak ada sisi positifnya bagi kaum pekerja. Apalagi UU tersebut dibidani oleh pihak asing, yang secara tidak langsung akan dibuat sesuai dengan kepentingan mereka. Mestinya SJSN itu wujudnya menjadi wujud tanggung jawab pemerintah dalam melindungi rakyatnya sesuai perintah konstitusi. Hak sosial rakyat itu harus menjadi kewajiban pemerintah melalui APBN, sehingga pemerintah tidak lagi harus memungut iuran, memotong gaji, dan upah pekerja. SJSN itu harus menjadi program seluruh rakyat tanpa diskriminasi dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan umum.
Kehadiran UU BPJS tak jauh beda dengan UU SJSN. UU BPJS adalah turunan atau implementasi dari UU No. 40 tahun 2004 yang keberadaannya atas sponsorship kepentingan pengusaha asing. Meskipun namanya BPJS, isinya bukan tentang jaminan sosial, tetapi cara mengumpulkan dana masyarakat secara paksa, termasuk dana APBN untuk masyarakat miskin.
Dana dari ratusan juta rakyat Indonesia itu nanti disetor ke BPJS lalu dikuasakan kepada segelintir orang yang namanya wali amanah. Lembaga ini sangat independen, tidak boleh ada campur tangan Pemerintah. Nanti dana yang terkumpul ini akan digunakan untuk kepentingan bisnis kelompok tertentu, termasuk perusahaan asing, yang sulit dipertanggungjawabkan.
Hal itu membuat rakyat akan kehilangan hak-hak sosialnya yang harus dipenuhi oleh negara. Sebaliknya, Negara menghilangkan kewajiban dari dirinya dan membebankannya ke pundak rakyat. Rakyat diharuskan menanggung bebannya sendiri dan beban sesama rakyat. Itulah prinsip kegotong-royong​an SJSN yang maknanya adalah prinsip kebersamaan antar peserta dalam menanggung beban biaya jaminan sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap peserta membayar iuran sesuai dengan tingkat gaji, upah, atau penghasilannya (penjelasan pasal 4).
Terlepas dari semua itu, realitas kehidupan para pekerja seharusnya menjadi referensi pemerintah dalam menentukan kebijakan perlindungan pekerja. Penolakan kaum buruh terhadap pengalihan dana JHT (Jaminan Hari Tua) dari Jamsostek ke BPJS menunjukkan belum adanya komunikasi dan sosialisasi yang baik dari pemerintah dengan kaum pekerja. Penolakan kaum buruh terhadap pemberlakuan BPJS dan ancaman untuk menarik dana JHT disebabkan belum adanya kesepahaman tentang manfaat dari BPJS.
BPJS sebenarnya dibentuk untuk melindungi kaum pekerja. Selama ini, untuk iuran ke Jamsostek perusahaan yang membayarnya. Jadi ketika pekerja diminta membayar iuran, mereka pasti menolak. Pekerja akan merasa pendapatan mereka semakin berkurang dengan adanya kewajiban membayar iuran tersebut. Untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari saja sudah sulit, bagaimaa mau memikirkan hari tua.
Ketentuan kewajiban membayar iuran yang tercantum dalam UU 40/2004 dan UU 24/2011 mungkin hal yang wajar bagi pekerja yag memiliki hasil berlebih. Namun, jika untuk pekerja yang merasa upah yang mereka terima belum bisa hidup layak, hal itu tentu akan memberatkan. Oleh karena itu, realitas kehidupan pekerja harus menjadi referensi pemerintah dalam menentukan kebijakan. O suprapto

Selasa, 26 Maret 2013

Boris Berezovsky



Musuh Putin Suka Bercinta
di Limusin Melaju Kencang


Musuh politik terbesar Presiden Rusia Vladimir Putin, Boris Berezovsky, ditemukan tewas misterius di dalam kamar mandi rumahnya di London, Inggris, Sabtu pekan lalu. Penyebab kematiannya masih terus diselidiki, termasuk dugaan bunuh diri dan pembunuhan. Menurut dugaan awal, lelaki 67 tahun ini dibunuh menggunakan racun radioaktif.
Terlepas dari penyebab kematian tersebut, ada beberapa perilaku buruk Berezovsky yang mulai terkuak ke publik. Salah satunya, dia kerap melakukan hubungan seks dengan wanita-wanita muda di dalam mobil limusin yang sedang melaju kencang.
Dilansir Dailymail, Senin 25 Maret 2013, kabarnya Berezovsky sering memerintahkan sopir pribadinya untuk mengemudi dengan kecepatan 225 km/jam, demi merasakan sensasi bercinta di dalam mobil mewah bersama wanita muda sewaan.
"Sudah jadi rahasia umum, dia membayar gadis-gadis muda dari Eropa Timur untuk melakukan hubungan seks di mobil, hotel, dan rumah pribadinya," kata seorang sumber yang dekat dengan Berezovsky.
Tidak tanggung-tanggung, mobil yang digunakan untuk melakukan hubungan seks adalah limusin Maybach lapis baja yang dibanderol 420.000 pound sterling atau sekitar Rp6,2 miliar.
Bahkan, pada satu waktu, Berezovsky pernah mengundang seorang wanita muda dari Latvia hanya untuk melakukan hubungan seks. Namun sesampainya di rumah Berezovsky, wanita muda tersebut tidak menyukai cara dia diperlakukan Berezovsky dan meminta untuk dipulangkan ke Latvia.
Permintaan itu dikabulkan Berezovsky. Hanya saja, sang sopir diperintahkan untuk melalu jalur padat kota London agar wanita itu telat naik pesawat. Akhirnya, wanita itu kembali menginap di kediaman Berezovsky untuk satu malam lagi.
"Boris sangat senang dan raut wajahnya tersenyum pada saya," kata mantan sopir Berezovsky.
Koleksi mobil mewah lain milik Berezovsky yang juga sering digunakan untuk bercinta adalah Maybach. Ini merupakan mobil premium yang berbasis di Sttugart, Jerman. Maybach telah diproduksi sejak 1909, namun beberapa tahun terakhir penjualan produknya mengalami penurunan.
Berezovksi adalah mantan ahli matematika yang menjadi konglomerat berkat bisnis jual-beli mobil di era pasca-Soviet. Dia juga pernah memiliki maskapai Aeroflot dan punya saham besar di stasiun televisi milik pemerintah Rusia kala itu.
Dia adalah salah satu pengusaha yang menjadi miliarder setelah Presiden Boris Yeltsin membantu mereka membeli perusahaan-perusahaan minyak di Rusia. Sebagai mitra dekat Yeltsin, dia pernah turut membantu karir Putin yang ditunjuk jadi perdana menteri pada 1999.
Saat Putin menyatakan ingin menjadi presiden pada tahun 2000, Berezovsky langsung mundur teratur. Dia lalu mencari suaka di Inggris dan menjadi musuh nomor satu Putin. Di negara ini, Berezovksy mengatakan bahwa Putin adalah "bandit koruptor yang dikelilingi agen-agen KGB" O viva

Jumat, 22 Maret 2013

Badak...



Geliat Badak di Ujung Kulon

Seabad lebih, upaya perlindungan Badak Jawa atau bercula satu di Ujung Kulon, tetapi populasinya tidak jauh berubah dari tiga dekade terakhir, yaitu sekitar 55 ekor. Jika tidak serius, hewan langka bercula ini mungkin suatu saat akan tinggal kenangan.

Taman Nasional Ujung Kulon di Provinsi Banten, mungkin akan menjadi saksi bisu kepunahan Badak bercula satu yang kian langka. Kawasan konservasi yang juga menjadi obyek wisata tersebut, seolah tidak mampu untuk mengembang biakan hewan di habitat aslinya. Bahkan Undag-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990 yang diterbitkan pemerintah seolah tak sanggup untuk melindungi hewan langka yang dilindungi itu.
Ujung Kulon bisa dikatakan menjadi habitat terakhir bagi kehidupan binatang prasejarah itu. Upaya melindungi jenis binatang itu sudah dilakukan satu abad lebih. Selama itu, kehidupannya di Ujung Kulon mengalami cobaan-cobaan yang mematikan, seperti perburuan liar dan bahkan gangguan serangan penyakit. Tetapi masih ada kelompok badak yang bertahan. Sekitar 50 ekor badak dari berbagai ukuran masih bertahan sejak 1975.
Penyebaran populasi satwa badak jenis ‘Rhinoceros Sondaicus’ tercatat pernah tersebar di India, Myanmar, Vietnam, Laos, Vietnam, Thailand, Pulau Sumatera, dan Pulau Jawa. Saat ini, populasi kecil sekitar 10 ekor masih hidup di Vietnam. Perkembangan penduduk dan peradabannya membuat habitat-habitat hutan di beberapa negara tersebut telah menyusutkan.
Tidak hanya itu, satwa mamalia besar inipun menjadi sasaran pembunuhan, karena dianggap hama bagi perluasan areal-areal pertanian. Kenistaan hidupnya juga menimpa, karena cula badak, secara spiritual, dianggap merupakan bahan pengobatan penyakit dan obat yang menyehatkan bagi kehidupan manusia.

Dibenci dan Dilindungi
Di Indonesia, kisah Badak bercula satu sedikit berbeda. Keberadaannya di Pulau Sumatera tidak begitu banyak ditulis, tidak demikian dengan di Pulau Jawa. Kehidupannya sebelum kemerdekaan mungkin suatu kisah yang ironis, pernah menjadi binatang yang dibenci, tetapi kemudian diperlakukan sebagai binatang yang sangat dilindungi. Perubahan kebijakan terhadap badak nampak mulai munculnya paradigma konservasi jenis hayati, yang mulai jenuh dengan penguasaan dan eksploitasi jenis-jenis pohon.
Awalnya, Badak bercula satu banyak tersebar di daratan Pulau Jawa, namun pertumbuhan pertanian pada lahan dari bukaan hutan-hutan alam telah menjadi kesukaannya dalam pencarian tanaman pakan. Usaha-usaha pertanian manjadi rugi, dengan rusaknya tanaman pertanian dan lahan-lahanya, akibat sepak terjang dan penindasan badak-badak. Badak bercula satu dituduh menjadi pelakunya, karena jejak-jejaknya diketahui. Akhirnya, binatang besar itu dimaklumatkan untuk diburu mati.
Kenistaan hidup badak-badak bertambah, dengan usaha perburuan yang didasarkan pada culanya, yang sebagai bahan-bahan pembuatan ramuan obat dan kesehatan manusia. Tentu banyak badak bercula satu yang menghindar ke hutan-hutan alam di daratan pulau berpenduduk meningkat ini. Jadi, tidak ada yang tahu ketika habitat kehidupan Badak ini tersudut Ujung Kulon, yang berada di ujung paling barat Pulau Jawa, lokasi di mana akhirnya hewan prasejarah itu dilindungi.
Ujung Kulon sebelum menjadi habitat Badak bercula satu, pernah direncanakan sebagai daerah perdagangan oleh pemerintah Hindia Belanda. Lanskap kawasan semenanjung itu memiliki pantai yang indah, tanahnya subur dan banyak tersedia air bersih, dan mengandung potensi batubara. Namun, hempasan ombak besar dampak letusan Gunung Krakatau pada 26 Agustus 1883, telah menghancurkan daerah itu.
Dalam catatan sejarah , kehidupan Badak di Ujung Kulon, tidak pernah lepas dari perburuan liar. Meski pemerintah Hindia Belanda pada 1909 mengumumkan Badak bercula satu dilindungi berdasarkan Staatsblaad No. 497 Tahun 1909, empat tahun kemudian, Hoogerwerf menulis bahwa 11 ekor Badak mati akibat perburuan illegal.
Demikian juga setelah penegasan perlindungannya kembali pada 1931 dalam Ordonansi Perlindungan Binatang-binatang Liar (Dierensbeschermingsordonantie 1931 Staadsblad 1931 Nummer 134) masih terjadi lagi perburuan pada tahun 1935-1936, dengan didapatinya 15 ekor tewas dibunuh. Perburuan illegal itu didorong oleh tingginya harga cula badak, tetapi ringan sanksi hukuman bagi pelakunya. Tidak ada catatan perburuan selama sepuluh tahun sebelum dan 15 tahun setelah hari kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustus 1945).
Hogerwerf dalam catatannya menyebutkan,  pada 1960-an ada sedikitnya tujuh ekor Badak mati karena perburuan liar. Kematian akibat diluar perburuan juga terjadi, karena penyakit, yaitu pada 1981, di mana lima ekor meninggal. Sedangkan perburuan liar yang terakhir terjadi pada 1988, dengan ditangkapnya seorang pelakunya pada saat hendak melakukan penjualan cula badak hasil buruannya.

Peningkatan Populasi
Pertumbuhan populasi badak di Ujung Kulon sendiri nampak diyakini ketangguhan dan toleransinya. Hoogerwerf menaksir ukuran populasinya meningkat, pada tahun 1937 (sekitar 25 ekor - 10 jantan dan 15 betina) pada dan tahun 1955 (antara 30 sampai 35 ekor). Lalu menurun, berdasarkan hasil inventarisasi Prof R Schenkel pada 1967, yaitu berkisar antara 21 sampai 28 ekor, karena ada beberapa individu yang hilang karena perburuan.
Setelah itu setiap tahun dilakukan inventarisasi melalui jejak-jejaknya, yang menampilkan peningkatan tetapi kemudian stabil dalam 10 tahun terakhir, yaitu antara 50 – 60 ekor. Perkembang biakannya di masa mendatang tidak dapat dipastikan lagi. Tampaknya, habitat alami Ujung Kulon menjadi keterpaksaan terakhir bagi hidupnya binatang prasejarah itu. Padahal penyelamatan hewan ini sudah dilakukan sejak 1909 dari serangan penyakit dan perburuan liar yang menimpanya. Kini, Badak bercula satu yang tangguh itu dianggap sebagai satwa dalam kategori bahaya menuju kepunahannya. Terancam punah, karena populasinya sangat kecil dan perkembang biakannya yang lambat, disamping habitat dan ekosistemnya sendiri dikuatirkan dapat terganggu karena bencana alam.
Kekuatan perlindungan badak bercula satu dapat ditunjukkan, melalui legalitasnya dalam UU No. 5 Tahun 1990. Sanksi hukuman yang berat bagi setiap orang, karena sengaja atau kelalaiannya, melakukan pelanggaran, baik menangkap, membunuh, menyimpan, mengangkut, memperniagakan, baik di dalam Indonesia atau ke luar Indonesia, dan individu dalam keadaan hidup maupun mati, dan maupun bagian-bagian dari tubuh individunya. Dukungan kuatnya legalitas itu nampak efektif membuat orang tidak lagi berbuat perburuan liar terhadap badak. O ato (berbagai sumber)

Ancaman Badak Jawa--- updek

Manusia, Krakatau, dan Tsunami

Seteah dinyatan punah di India dan Vietnam pada 2011, populasi Badak Jawa atau Rhinoceros sondaicus hanya tinggal di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Berdasarkan perhitungan, menggunakan metode video trap, sudah ada 55 ekor Badak Jawa yang teridentifikasi. Jumlah itu mungkin belum semuanya, Evaluasi Data dan Program Balai Taman Nasional Ujung Kulon, menyebutkan, salah satu faktor yang menyulitkan inventarisasi adalah sifat hewan itu yang soliter, tak hanya terhadap mahluk lain, juga pada sesamanya sendiri.
Banyak tantangan yang dihadapi untuk mempertahankan kelestarian Badak pada habitatnya. Ada tekanan dari masyarakat, juga kurangnya kepedulian. Masyarakat merasa keberadaan hewan itu tak begitu penting, mungkin ini karena faktor pendidikan. Padahal Badak Jawa hanya ada di Ujung Kulon. Semua itu mungkin disebabkan masyarakat tak pernah melihat secara langsung hewan itu, sehingga tak merasa dekat.
Ujung Kulon dari sisi tempat memang strategis untuk Badak. Letak habitat itu di semenanjung cukup jauh dari pemukiman. Namun, kini intensitas manusia beraktivitas di kawasan taman nasional cukup tinggi. Masyarakat ada yang mengambil madu, mengambil burung, bahkan melakukan illegal logging.  Padahal, Badak adalah hewan yang sangat peka terhadap perubahan. Jika terganggu, hewan prasejarah itu bisa mengalami stres.
Meski menjadi perhatian dunia internasional, Badak Jawa justru kurang terekspos di dalam negeri. Padahal, punahnya spesies itu di Vietnam pada Oktober 2011 lalu jadi isu dunia. Satu-satunya Badak Jawa yang ada di Vietnam dilap orkan mati akibat ulah pemburu liar. Hewan malang ditemukan mati di Taman Nasional Cat Tien dengan luka tembak di kaki dan culanya telah dipotong. Jika Badak Jawa punah, kerugian yang dialami dunia tidak terhitung, terutama Indonesia karena spesies ini tidak ditemukan di negara lain. Padahal, Indonesia sudah tidak memiliki Harimau Jawa yang sudah punah.

Pagar Listrik
Untuk menjaga habitat Badak di Ujung Kulon, pengelola Taman Nasional Badak Ujung Kulon bekerja sama dengan Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA) melakukan pemasangan pagar listrik di area konservasi itu. Pemasangan pagar listrik itu mendapat protes dari mahasiswa yang menyatakan hal itu akan merusak ekosistem yang sudah ada. “Jika ingin meningkatkan jumlah Badak, nanti malah badak dan  hewan lainnya bisa mati," ujar koordinator aksi.
Pengelola Taman Nasional Ujung Kulon membantahnya. Salah seorang staf yang juga terlibat dalam JRSCA, Dodi Sumardi menjelaskan, program tersebut berlatar belakang kondisi Badak Jawa yang terancam punah. Habitatnya di Ujung Kulon sudah riskan. Oleh karena itu, para pakar Badak bersepakat, perlu manajemen intensif. Perlu perlakuan khusus yang dilakukan untuk selamatkan Badak Jawa.
Habitat Badak yang saat ini terkonsentrasi di Ujung Kulon, terancam invasi tanaman langkap, sejenis aren yang menyebarannya cepat dan terancam membunuh pakan badak. Karena kondisi semenanjung yang tidak baik, para pakar Badak sepakat membuat program JRSCA. "Program sebenarnya perluasan habitat dari Semenanjung ujung Kulon menuju Gunung Honje bagian selatan. Wilayah bagian dari taman nasional ini tak digunakan badak," jelasnya.
Lalu, mengapa harus ada pemagaran? Kalau tidak dipagar ada konsekuensi yang timbul  bagi perluasan, masyarakat tetap masuk. Padahal kehadiran manusia tak baik bagi badak. Badak, adalah hewan soliter yang tak bisa diganggu manusia. Faktor lain, hewan ternak milik warga yang berkeliaran menjadi vektor beberapa  penyakit bagi badak. Itulah sebabnya dilakukan pemagaran karena patroli tak bisa dilakukan 24 jam. (ato)

11 Anak Badak Terpantau

Rekaman kamera video jebakan periode 2012 di Taman Nasional Ujung Kulon menangkap keberadaan enam anak Badak Jawa. Harapan pun muncul karena adanya peningkatan populasi spesies endemik paling terancam punah di Indonesia itu. “Ini kabar menggembirakan. Paling tidak, ada enam anak badak jawa baru,” kata M Haryono, Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), di Jakarta.
Keenam anak badak jawa (Rhinoceros sondaicus) itu berusia 1-2 tahun, yang ditandai dari anakan yang mengikuti induknya menelusuri hutan. Badak Jawa dewasa bersifat soliter (penyendiri). Berpasangan ketika musim kawin tiba. Haryono memastikan keenam anak badak itu berbeda individu dengan temuan lima anakan pada tahun 2011. “Lima badak yang tampak pada monitoring 2011 juga terekam. Total ada 11 anak badak terlihat,” jelas Haryono.
Identifikasi pun dilakukan dengan melihat bentuk cula, telinga, lipatan kulit badan, dan tekstur kulit pelipis. Video jebakan dipantau 6-8 bulan. Kini, detail laporan ini masih didalami. Laporan akhir pemantauan akan dipublikasikan. Keenam anak Badak yang ditemukan belakangan, tidak sama dengan lima anak badak yang teridentifikasi tahun lalu, baik secara fisik maupun usianya.
Indentifikasi dari hasil rekaman 2011, ditemukan minimal 35 ekor Badak Jawa, yang terdiri dari 22 jantan dan 13 betina. Dari populasi tersebut, terdapat lima anak Badak Jawa dengan jenis kelamin satu betina dan empat anak jantan. "Sedangkan enam anak badak yang ditemukan 2012, diidentifikasi berusia di bawah satu tahun dengan jenis kelamin, dua betina dan empat jantan," katanya.
Enam anak badak itu, kata Haryono, terekam oleh kamera pengintai di Cikeusik Hulu, Curug Cigentar dan Hulu Cangkeuteu.Indentifikasi dilakukan oleh tim dengan mengamati berbagai parameter kunci secara detail, yakni ada-tidaknya cula, morfologi tubuh (ukuran dan bentuk tubuh).
Sebagaimana diketahui, Taman Nasional Ujung Kulon menggunakan 40 kamera jebakan yang diganti kartu perekam dan baterai sebulan sekali. Beberapa bulan lalu, Balai penelola taman ini mendapat bantuan 120 kamera jebakan dari WWF-Indonesia. Namun, kamera ini baru akan dioperasikan tahun 2013 setelah ditetapkan titik pemasangannya.
Sementara itu, Direktur Program Kehutanan WWF Indonesia, Anwar Purwoto, mengatakan, peningkatan populasi Badak Jawa juga meningkatkan kebutuhan pakan dan areal. Di sisi lain, habitat badak terus terdesak tanaman invasif jenis palem-paleman, terutama jenis langkap (Arenga obtusifolia).
Pembersihan tanaman langkap di Ujung Kulon sangat mendesak. Langkah ini bisa memulihkan keseimbangan ekosistem yang akhirnya menambah populasi tanaman pakan yang dibutuhkan badak. Isu terakhir, Badak Jawa membutuhkan habitat kedua. WWF-Indonesia telah mengkaji empat lokasi calon habitat baru. Empat lokasi itu Hutan Baduy, Taman Nasional Halimun-Salak, Cagar Alam Sancang, dan Cikepuh. Mayoritas berada di Jawa Barat.
Butuh waktu 1-2 tahun untuk memastikan habitat kedua yang cocok. Persiapan panjang dan matang penting untuk meyakinkan lokasi itu menyediakan pakan, alam, dan kondisi yang mendukung kelangsungan hidup badak jawa. Sebelumnya, ada rencana memagari sebagian kawasan TNUK untuk melindungi badak jawa.
Sedangkan, Direktur Eksekutif Yayasan Ujung Kulon, Enjat Sudrajat mengatakan, populasi Badak Jawa, atau badak bercula satu yang hidup di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon Pandeglang sekitar 55 ekor. “Jumlah Badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon sekitar 55 ekor, dan kita akan berupaya membantu percepatan populasi hewan langka itu,” katanya. O ato

Ajal Reformasi



 Langkah reformasi yang tertatih-tatih dihadang berbagai upaya untuk menghentikannya. Akankah reformasi mati dan dikubur diliang lahat.. ?

Masih segar dalam memori publik, gegap gempita penolakan masyarakat terhadap rencana penerbitan UU Kamnas. Kini masyarakat kembali geger ketika RUU itu bermetafora dan menjelma menjadi Inpres No.2 Tahun 2013. Mungkinkah, Inpres itu menjadikarpet merah bagi Ani Yudhoyono menuju istana...?

Empat belas tahun silam tepatnya 24 September 1999, banjir air mata melanda bumi pertiwi ketika mendapati sosok lelaki bertubuh kurus dan berkulit pucat dengan rambut panjang terurai tergolek bersimbah darah di Jl Sudirman, bilangan Semanggi, Jakarta Pusat. Tubuh kering itu terjerembab  saat diterjang peluru tajam oleh aparat. Lelaki malang itu tak lain Yun Hap salah seorang mahasiswa Fakultas Teknik Elektro UI yang turut menjadi korban kebrutalan aparat.

Peristiwa yang kemudian hari dikenal sebagaiSemanggi Berdarah ini adalah salah satu tonggak sejarah reformasi republik ini untuk menjadi negara demokrasi. Kala itu Yun Hap beserta beberapa rekan sejawatnya melakukan aksi demo untuk menolak penerbitan RUU Penanganan Keadaan Bahaya (PKB) yang subtansinya sami mawon alias sama saja dengan RUU Kamnas. Tidak berlebihan jika kemudian Yun Hapdibaiat menjadi salah satu dari Pahlawan Reformasi.

Salah satu agenda reformasi adalah menegakkan supremasi sipil selain memberantas korupsi dan menegakkan supremasi hukum. Namun sayang,  tumbal nyawa Yun Hap itu seakan-akan sia-sia ketika pemerintah menerbitkan Inpres No 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Nasional Dalam Negeri.

Karena secara subtansi antara, RUU PKB, RUU Kamnas dengan Inpres No.2 Tahun 2013 itu ternyata pada bae alias beda-beda tipis. Pemerintah seakan tutup mata-tutup telinga dengan aspirasi masyarakat yang sebelumnya dengan heroik menolak niat pemerintah yang begitungebet menyorongkan RUU Kamnas itu.

Laksana air bah, penolakkan itu sebenarnya datang secara bergelombang. Dari kalangan aktivis demokrasi nyaris semua menolak penerbitan Inpres itu seperti misalnya Kontras, Imparsial, IPSP,SETARA Institute, LBH Pers, Maarif Institute, Rupa-Rupa (RuRu), Kultur Blender, Walhi Nasional, PSHK, KPI, Perempuan Mahardika, Nasional Papua Solidarity hingga organisasi profesi seperti Peradi serta Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).

Semua mengeluarkan tesis yang sama bahwa terbitnya Inpres No. 2 Tahun 2013 membuktikan jika rezim SBY telah melakukan kesalahan yang sama dengan rezim Orde Baru yang menerjunkan TNI dalam ranah Kamtibmas yang menjadi domainnya Polri.

Senada seirama dengan suara penolakkan dari kalangan aktivis, para politisi di Senayanpun juga mengakugerah dengan penerbitan Inpres itu. Bahkan dengan terkesan sewot, politisi dari PDIP Eva Kusuma Sundari menyatakan bahwa Pemerintah menarik kembali TNI dalam urusan Kambtibmas merupakan aib dan dosa besar, œIni merupakan pengkhianatan terhadap reformasi
 ujarnya. Sejawat Eva Sundari dari PDIP, yang juga mantan Pangdam I Bukit Barisan,  Mayjend (Purn) Tri Tamtomo kepada NOVUM menyatakan bahwa seharusnya masalah itu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) ketimbang Inpres. Karena menurut Tri Tamtomo  masalah perbantuan TNI, sebelumnya sudah diatur dalam Peraturan Panglima (Perpang) TNI.

Sehingga dibalik ngotot danngebetnya SBY menerbitkan UU Kamnas maupun Inpres No. 2 tahun 2013 itu tak urung mengapungkan kecurigaan, ada agenda pribadi apa SBY menerbitkan Inpres itu. Ada beberapa tesis serta skenario yang mungkin terjadi. Pertama, adalah untuk kepentingan pasca 2014 yakni SBY tidak ingin keluarganyatersentil persoalan pasca dirinya lengser. Yang kedua adalah skenario yang paling buruk adanyachaos sehingga SBY bisa mengambil kendali sepenuhnya. Termasuk memungkinkan memasangsang permaisuri menjadi RI 1.Apalagi, sebuah sumber di gedung DPR mengatakan, RUU Kamnas akangol pada Juli 2013 mendatang.

Namun, pihak pemerintah berdalih penerbitan Inpres No. 2 Tahun 2013 tersebut adalah untuk menciptakan harmoni serta koodinasi antar stake houlders (pemangku kepentingan) terutama dimasing-masing daerah dalam mengendalikan keamanan.
Jadi Kepala Daerah disitu bisa mengkoordinasikan semua potensi yang ada didaerah seperti Kapolda dan Pangdam serta unsur lain di masyarakat ujar Menteri  Dalam Nageri, Gamawan Fauzi.

Senada dengan Mendagri, Ketua Lemhanas, Budi Susilo Soepandji menyatakan dasar penerbitan Inpres tersebut merupakan jalan tengah karena gangguan Ka
mbtibmas dan konflik yang semakin kompleks. œRUU Kamnas hingga akhir tahun 2012 masih buntu sedangkan kebutuhan penyelesaian konflik komunal sangat mendesak, maka Inpres dikeluarkan, ujarnya usai berdiskusi bersama dengan media massa di kantor Lemhanas beberapa waktu yang lalu.

Dia menambahkan Inpres dibutuhkan untuk bisa memudahkan perbantuan TNI ke Polri. Lewat Inpres itu diharapkan optimalisasi peran TNI dan Polri bisa selalu berdampingan dalam meredam konflik. Menurutnya, penerbitan Inpres merupakan upaya agar rakyat di daerah konflik bisa diselamatkan. Penggunaan TNI yang menggunakan anggaran negara juga bisa optimal. Jadi, bukan dalam konteks melanggar HAM atau menghilangkan demokrasi, tapi untuk menjaga keutuhan bangsa. Maka TNI perlu diberdayakan, jelasnya.

Berbagai penilaian dari banyak pihak bahwa secara urgensi, Inpres No 2 2013 dan RUU Kamnas sejatinya tidak dibutuhkan untuk saat ini, tak mendapat respon. Bahkan kobaran semangat penolakan terhadap RUU Kamnas dan Inpres No 2 tahun  2013 yang dituding banyak mengandung pasal-pasal bermasalah sebab dapat mengancam kehidupan kebebasan dan demokrasi itu, bakanjing menggonggong kafilah  berlalu.O tim


Gendrang perang sudah ditabuh  melawan para penghianat reformasi. Siapa menang ? Laksana meniup sangkakala (terompet kematian, red), penerbitan Inpres No. 2 Tahun 2013 tak urung menimbulkan berita duka bagi kalangan aktivis demokrasi. Laskar ijo pun kembali merangsek ke medan sipil (back to civil society) dan menggempur supremasi sipil yang menjadi amanat dasar reformasi.

Siang itu suasana begitu khidmat ketika Presiden SBY mulai memimpin sidang rapat kerja pemerintah, di Plenary Hall, Jakarta Convention Centre, Jakarta, Senin 28 Januari 2013. Hari ini, saya keluarkan Inpres (Instruksi Presiden) No. 2/2013. Inti Inpres tersebut adalah, Instruksi saya untuk tingkatkan efektifitas penanganan gangguan keamanan di seluruh tanah air
 ujar Presiden SBY. Sontak, pidato SBY itu bagi sebagian kalangan tak ubahnya seperti genta kematian yang sedang berdentang.

Tak ur
ung tesis, analisa hingga kecurigaanpun berhamburan dibalik penerbitan Inpres itu. Maklum ini kali yang ketiga pemerintah berencana menerbitkan peraturan tersebut. Pertama adalah pada eranya Presiden Habibie yang kala itu bernafsu menerbitkan UU Penanganan Keadaan Bahaya (PKB), penolakkan masyarakat akhirnya memakan tumbal Yun Hap.

Gagal di UU PKB pemerintahan  SBY kembali menyorongkan RUU Kamnas. Belum juga usai pembahasan RUU Kamnas  pemerintah tiba-tiba menerbitkan Inpres No. 2 tahun 2013. Isi dari ketiga peraturan itu ternyata pada bae, cuma ganti baju doang yakni memberi ruang kepada militer untuk turut cawe-cawe (membantu, red) Polri dalam mengendalikan Kamtibnas. Sesuatu yang sangat diharamkan oleh amanat reformasi.
Memang, konsideran dan argumentasi penerbitan Inpres itu atas dasar semakin meningkatnya kualitas dan eskalasi gangguan Kamtibmas seperti yang terjadi Poso, Kalianda, Palembang, Lampung hingga Bima, NTB. Namun tak urung pemerintah dicurigai memiliki agenda tersendiri dibalik penerbitan Inpres itu.
Ini jelas mengaburkan kembali fungsi dari aktor-aktor keamanan nasional kritik Anggota Komisi I DPR RI, Helmy Faisal ketika menghadiri diskusi yang bertajuk œMembongkar Kepentingan SBY Dibalik Inpres No.2/2013 di Galery Cafe, Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat awal Februari lalu.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Presidium Indonesia Police Wacth (IPW), Neta S Pane secara spesifik menduga adanya kepentingan pribadi SBY, œSaat ini kan muncul kecaman-kecaman dari masyarakat termasuk kita kemarin ke KPK melaporkan dugaan penggelapan pajak SBY, kemudian Century, ini kan biar bagaimanapun menakutkan SBY dan keluarga Cikeas. Bagaimana di 2014 mereka minta aman tidak dikejar-kejar dan tidak masuk Cipinang, nah gitu
 ujar Neta.

Bahkan Neta juga mencurigai adanya agenda politik di balik Inpres itu.
Sepertinya ini dikeluarkan untuk memberikan semacam permen kepada TNI, sehingga TNI bisa menjaga SBY. Syukur-syukur tahun 2014, TNI mendukung keluarga Cikeas lagi untuk memimpin negara ini, itu analisis kita. Tapi faktanya benar atau tidak kita lihat nanti 2014," ungkapnya.

Sementara tak kalah keras, Koordinator Riset Imparsial Ghufron Mabrur dalam konfrensi pers dikantornya awal Februari lalu, mendesak parlemen mengevaluasi Inpres No 2 tahun 2013 dan MoU TNI- Polri. Menurutnya Inpres yang ditindak lanjuti dengan penanda tanganan MoU Polri-TNI adalah bentuk pemberian  cek kosong bagi TNI untuk terlibat lebih jauh dan lebih luas dalam menangani keamanan dalam negeri.

Selain persoalan Inpres dan MoU TNI-Polri, Imparsial juga menyayangkan langkah Pemerintah dan parlemen yang tetap memasukkan RUU Keamanan Nasional (Kamnas) ke dalam Prolegnas 2013. Karena secara urgensi, RUU Kamnas sejatinya tidak kita butuhkan untuk saat ini.

Kalangan praktisi hukum seperti Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) juga angkat bicara. Pengurus Departemen Hak Asasi Manusia Dewan Pengurus Nasional Peradi, Rivai Kusumanegara   menilai Inpres No 2 tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri yang mengatur penanganan khusus terhadap konflik sosial sangat membahayakan situasi dalam negeri karena kembali melibatkan TNI seperti di era Orde Baru. "Keberadaan Inpres No 2 tahun 2013 merupakan pengulangan kesalahan orde baru serta pengingkaran amanat Reformasi, di mana secara pragmatis TNI kembali dilibatkan dalam pemulihan keamanan tanpa batasan yang jelas," kata Rivai Kusumanegara.

Menurut Rivai, persoalan keamanan seharusnya merupakan tugas dan fungsi Polri sebagaimana di negara-negara lain. Pendidikan dan persiapan TNI sangatlah berbeda dengan Polri, sehingga bila TNI dilibatkan dalam penanggulangan keamanan akan rentan terhadap pelanggaran HAM. "Kita harus membesarkan TNI sesuai tugas dan fungsinya dalam mempertahankan kedaulatan negara, menjaga keutuhan NKRI, hingga menjaga perdamaian dunia. Bukan mendegradasi keberadaannya dengan melahirkan Inpres No 2 tahun 2013," tegasnya.

Sementara anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Edy Saputra Hasibuan mengingatkan, penerbitan Inpres No 2 tahun 2013 harus menjadi bahan instropeksi  bagi Polri. Agar kedepan  terus meningkatkan kinerjanya  dalam menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya untuk memelihara ketertiban dan keamanan dalam negeri  serta penegakan hukum secara tegas.

Dia meminta agar Kapolri tidak segan-segan mencopot Kapolda atau Kapolres yang tidak mampu mengendalikan kamtibmas di daerahnya masing-masing.
Seperti mengamini, Anggota Komisi III Bidang Hukum DPR, Eva Kusuma Sundari mengatakan pengajuan RUU Kamnas dan Inpres no 2 tahun 2013 merupakan puncak buruknya penegakan hukum di negeri ini. "Ini merupakan dampak atau cermin dari kinerja penegak hukum yang rendah integritasnya sehingga gagal mendeliver keadilan," kata Eva, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, RUU Kamnas dan Inpres No2 tahun 2013 berpotensi memundurkan demokrasi dengan prinsip supremasi sipil. œIni merupakan pengkhianatan reformasi," tegasnya. O tim
Kemampuan dan profesionalitas serta kualitas maupun krediblitas pimpinan, pemicu wacana untuk melibatkan militer dalam menangani Kamtibmas.

Bak cerita legenda Bisma dalam serial Bharata Yudha, Panglima Perang nan gagah berani itu akhirnya harus gugur oleh hujaman puluhan anak panah dari saudara-saudaranya sendiri. Hanya karena Bisma bingung untuk berpihak antara Pendawa atau Kurawa dalam perang puputan.

Kini, dengan terbitnya Inpres No. 2 Tahun 2013 tak ubahnya silent operation untuk memanah dan mengamputasi kewenangan Polri. Sementara sebelumnya, kaki Polri sudah terpanah oleh MoU antara Polri dengan KPK. Tidak hanya itu, Polri juga dipermalukan dengan terungkapnya kasus dugaan istri muda Irjen Djoko Susilo,oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), membuat citra Polri kian terjerambab.

Sesuai dengan standar negara demokrasi di belahan dunia manapun, gangguan Kamtibmas sepenuhnya menjadi kewenangan Polisi.Begitu juga di negeri ini seperti amanat Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Keterlibatan militerpun harus dinisbikan dan dinihilkan, apalagi setelah dengan rawe-rawe rantas malang-malang putung (bersama-sama dengan sekuat tenaga, red) mahasiswa bersama  unsur civil society lainnya mendorong militer kembali ke habitat awal (back to barrack) dalam reformasi lalu.

Bila sebelumnya, Polri  dibuat terkulai dan tak berdaya menghadapi KPK dalam serial perseteruan KPK-Polri, kini Korps Bahyangkara itu kembali harus menghadapi ancaman amputasi kewenangan lewat Inpres No. 2 Tahun 2013  tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri. Dalam Inpres tersebut secara cetho wela-welo alias eksplisit, memungkinkan militer untuk nimbrung dalam menangani gangguan Kamtibmas. Prahara yang melanda membuat kredibilitas Polri seakan terpasung.

Pertanyaannya, apakah memang korps Bhayangkara dengan laskar thelik sandinya sudah tidak mampu dalam mengatasi itu ? Secara obyektif, minus tentang perilaku korup beberapa oknumnya, dengan segala keterbatasan sebenarnya Polri sudah cukup mampu mengatasi masalah Kamtibmas.

Seperti diketahui dalam kondisi serba minim sarana dan prasarana termasuk  rasio jumlah Polri dengan masyarakat kita 1 : 600 masih jomplang dengan standar internasional (PBB) 1 : 300. Prestasi Polri patut diapresiasi terutama dalam pemberantasan  terorisme. Dan hal itu sudah diakui dunia terutama kemampuan thelik sandi kita yang dikenal dengan intel melayu.

Namun kini dengan terbitnya Inpres itu tak urung membuat sejumlah pihak di Korps Bhayangkara meriang dan adem panas karena terancam kewenangannya diamputasi. Celakanya, Inpres itu akan dibalut menggunakan UU Kamnas yang menurut sumber NOVUM di DPR dapat dipastikan akan digolkan pada bulan Juli mendatang. Pengesahan UU Kamnas serta Inpres itu seakan terjustifikasi dengan munculnya kerusuhan dimana-mana. Lalu dari semua kerusuhan yang terjadi,  berending dengan penilaian bahwa aparat Kepolisian tidak bisa mengendalikan suasana.
 
Anehnya, meski mendapat serangan dari kanan- kiri sikap Polri terkesan mandah dan derek kerso (pasrah). Baik dalam kasus dengan KPK maupun terkait dengan RUU Kamnas. Padahal menurut sumber NOVUM tidak sedikit Pati aktif maupun Purnawirawan yang mengaku gerah dengan kondisi saat ini. Para kolega Kapolri yang enggan disebut namanya itu mengilustrasikan jika kondisi Polri saat ini sudah berada dibibir jurang. Bahkan dengan menganalogikan kondisi Polri saat ini, ibarat tongkat komando Polri itu sudah tidak ada ditangan TB (Tribrata)1.
 
Sehingga sumber tadi menilai, jika Polri sudah tidak independen lagi dan berada dalam tekanan. Kesan sikap pasrah itu terlihat dari penyataan Kapolri, Jenderal Timur Pradopo ketika di tanya tentang RUU Kamnas.
Semuanya kan masih diproses di DPR. Masih ada tahapan-tahapan di sana, prinsipnya kita akan ikuti proses itu jelas Kapolri. Bahkan ketika disinggung kenapa Kapolri ikut paraf terhadap RUU itu jawabanyapun kembali kita ikuti proses itu saja tandasnya.

Penilaian yang berbeda dilontarkan oleh Anggota Komis
i Kepolisian Nasional (Kompolnas), Edy Saputra Hasibuan menilai bahwa dengan terbitnya Inpres No. 2 Tahun 2013 itu bisa dijadikan dasar bagi Polri untuk instropeksi diri serta membenahi dan meningkatkan profesionalismenya sehingga mampu meningkatkan kinerjanya untuk  mengatasi gangguan Kamtibmas. Bahkan Edy Saputra juga mendesak Kapolri untuk bertindak tegas dengan berani memecat para Kapolda yang gagal mengatasi gangguan Kamtibmas di wilyahnya masing-masing.

Sementara analisa tim Kontras  menyebutkan, lahirnya Inpres sesungguhnya tidak hanya dilatarbelakangi ancaman gangguan Kamtibmas. Namun, lebih jauh dari itu, Inpres ini memberikan penegasan serangkaian agenda politik Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sepanjang dua periode kepemimpinannya, telah gagal menyediakan kebutuhan dasar, yakni perlindungan hak-hak fundamental warga negara Indonesia.

Konflik agraria dan sumber daya alam, kekerasan berbasis minoritas, kriminalitas yang dialami pegiat lingkungan hidup, HAM, anti-korupsi, dan jurnalis. Bahkan hak-hak dasar warga negara untuk berkumpul mengekspresikan aspirasi sosial politiknya secara damai, selalu disederhanakan dengan model respons negara yang mengedepankan keamanan.
Pendekatan keamanan yang selalu dijadikan tulang punggung untuk menyokong agenda reformasi Indonesia adalah sebuah keniscayaan yang tidak terbantahkan lagi. O tim